TEMPO.CO, Jakarta - Terbitnya buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia memicu kontroversi di kalangan sastrawan. Buku ini merupakan bagian dari program Sastra Masuk Kurikulum, yang diluncurkan Kementerian pada Ahad, 19 Mei 2024. Lewat program ini, karya sastra tidak hanya akan hadir dalam bahasa Indonesia, tapi juga disebar di mata pelajaran lain mulai semester II tahun ajaran 2024/2025.
Buku Panduan Rekomendasi Buku Sastra memuat daftar 177 buku yang dibagi dalam tiga kelompok jenjang pendidikan dasar dan menengah, yakni untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Buku ini hasil kurasi 17 sastrawan, seperti Eka Kurniawan dan Okky Madasari.
Sastrawan Nirwan Dewanto mengkritik buku tersebut dan meminta bukunya, Jantung Lebah Ratu, dikeluarkan dari daftar buku yang direkomendasikan. Beberapa sastrawan lain juga melemparkan berbagai komentar di grup percakapan atau blog.
Akmal Nasery Basral, penulis Nagabonar Jadi 2, buku yang juga masuk daftar rekomendasi, juga mengkritik buku itu. Akmal memaparkan soal sejumlah kekeliruan data dalam buku tersebut.
Tanggal lahir Akmal ditulis keliru. Begitu pula tempat lahirnya, yang disebut di Bukittinggi, padahal dia lahir di Jakarta. Nama sekolah dan pendidikan tingginya juga salah.
Baca juga:
Yang lebih parah lagi adalah bahwa Akmal disebut sebagai pengarang novel Rantau 1 Muara, padahal itu novel karya Ahmad Fuadi.
Di bawah ini adalah catatan lengkap Akmal yang diterima Tempo pada Ahad, 26 Mei 2024.
Heboh Sastra Masuk Kurikulum Merdeka, Apa Kata Dunia?
Akmal Nasery Basral
1/
Apa persamaan antara buku sastra dan “Jenderal” Nagabonar, sang pencopet fiktif nan legendaris? Jawab: keduanya sama-sama masuk Kurikulum Merdeka.
Kok bisa? Nah, ini sebabnya. Mulai tahun ajaran baru 2024, novel Nagabonar Jadi 2 (2007) yang saya tulis termasuk dalam daftar 105 karya sastra rekomendasi Kemendikbudristek bagi para siswa jenjang SMA/SMK/MA/MAK di seluruh Indonesia.
Karya sastra lainnya pada kelompok ini adalah Belenggu (Armijn Pane, novel, 1940), Atheis (Achdiat K. Mihardja, novel, 1949), Robohnya Surau Kami (AA Navis, cerpen, 1956), Raumanen (Marianne Katoppo, novel, 1977), Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, novel, 1980), Orang-Orang Bloominton (Budi Darma, kumpulan cerpen, 1980), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, novel, 1981), O, Amuk, Kapak (Sutardji Calzoum Bachri, kumpulan puisi, 1981), Adam Makrifat (Danarto, kumpulan cerpen, 1982), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari, novel, 1982), Canting (Arswendo Atmowiloto, novel, 1986), Merahnya Merah (Iwan Simatupang, novel, 1987), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Kuntowijoyo, cerpen, 1992), Saksi Mata (Seno Gumira Ajidarma, cerpen, 1994), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (Taufiq Ismail, puisi, 1998), Gadis Kretek (Ratih Kumala, novel, 2012), dan Laut Bercerita (Leila S. Chudori, novel, 2017), untuk menyebut beberapa contoh.
Apakah saya senang? Tentu saja. Tak bisa dipungkiri secercah rasa bungah muncul mendekati sensasi bahagia yang saya alami saat cerpen bahasa Inggris saya “Swans of The Rising Sun” bersanding dengan karya Günter Grass, penerima Nobel Sastra 1999, dalam antologi solidaritas sosial 42 penulis internasional dari 15 negara berjudul Project Sunshine for Japan (2013) yang digagas Mansoureh Rahnama dari Universitas Dortmund, Jerman. (Cerpen itu kemudian saya kembangkan menjadi novel bahasa Indonesia berjudul Te o Toriatte (Genggam Cinta) diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2019).
Namun yang mereduksi sukacita saya atas keberuntungan Nagabonar Jadi 2 terpilih sebagai novel rekomendasi program “Sastra Masuk Kurikulum” adalah tersebab info itu saya ketahui dari informasi media massa dan berkas PDF “Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra” setebal 784 halaman yang lalu-lalang di media sosial. Bukan dari pemberitahuan resmi Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek sebagai penanggungjawab program “Sastra Masuk Kurikulum” kepada saya sebagai penulis buku. Tak ada surat pemberitahuan resmi, apalagi undangan menghadiri acara.
Padahal, dengan sebagian pengarang yang sudah wafat pada daftar buku rekomendasi, serta konperensi pers dan peluncuran program yang dihelat besar-besaran di Kemendikbud, Senin lalu (20/5), apa sulitnya menghormati para pengarang yang masih hidup dan karya mereka tercantum pada daftar 177 karya sastra rekomendasi (43 karya untuk SD/MI, 23 karya untuk SMP/Mts, 105 karya untuk SMA/MI)? Apalagi di era digital ketika para pengarang memiliki akun media sosial di pelbagai aplikasi yang mudah dihubungi.
Dari hal kecil ini kita mengancik problem yang lebih besar.
2/
Sastrawan Nirwan Dewanto—buku kumpulan puisinya, Jantung Lebah Ratu (2008). juga termasuk dalam daftar karya sastra rekomendasi untuk siswa jenjang SMA/MI—sudah menyiarkan Surat Terbuka kepada Kurator Sastra Masuk Kurikulum 2024 dengan rangkaian diksi yang lebih tajam dari sengatan lebah ratu.
Saya kutip cuplikan kritiknya tentang buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang sudah beredar luas itu:
“Buku” di atas jelas tidak memenuhi standar perbukuan yang mana pun: sajiannya buruk, penyuntingannya buruk, bahasanya buruk, isinya buruk, dan seterusnya. Saya katakan satu hal saja, sebagai contoh:“buku” itu menyebarkan disinformasi, jika bukan kebohongan; mengandung bukan hanya kesalahan-keteledoran, tetapi kesalahan yang bersifat “sistematis” akibat cara kerja yang bobrok. Susah dipercaya, bagaimana mungkin hasil kerja yang seceroboh dan seburuk ini (akan) digunakan untuk memajukan pendidikan dan persekolahan.
Saya mendukung ketajaman kritik Nirwan. Sebab, informasi tentang diri saya sendiri pada subbagian Latar Belakang Penulis (hal. 705) semuanya k-e-l-i-r-u. Tidak sebagian kecil, tidak separuh. Semuanya.
Tanggal lahir saya tertulis 3 Juli 1946, yang berarti usia saya hanya lima tahun lebih muda dari ayah saya yang lahir pada 1941. Tempat lahir saya tertulis Bukittinggi, sementara saya lahir di Jakarta. Pendidikan saya tertulis "pendidikan dasar dan menengahnya di Bukittinggi, sedangkan pendidikan tinggi dijalani di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat", padahal saya bersekolah TK, SD, SMP, SMA di kawasan Tebet, Jakarta Selatan dan pendidikan tinggi di FISIP Universitas Indonesia, Depok.
Kaitan saya dengan Universitas Andalas hanya sebagai penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional pada acara yang berlangsung di kampus FIB Unand, Desember 2022. Penghargaan diberikan oleh Dekan Prof. Dr. Herwandi, M. Hum. Di antara penerima lainya, untuk kategori Akademisi/Peneliti Internasional diberikan kepada Prof. Yumi Sugahara, filolog dari Universitas Osaka, Jepang.
Padahal, jika tim penyusun “buku panduan” memang membaca novel Nagabonar Jadi 2, pada halaman terakhir “Tentang Penulis” ada informasi akurat tentang tempat dan tanggal lahir saya, dan informasi lainnya, dibandingkan info—meminjam istilah Nirwan—“disinformasi, jika bukan kebohongan”, yang entah dikutip dari sumber mana dan begitu melencengnya bahkan dibandingkan data yang tersedia di Wikipedia.
Kesalahan informasi tentang saya lainnya yang tak kalah fatal adalah pada bagian ini: “Namun, karya paling terkenalnya adalah seri novel Rantau 1 Muara yang menelusuri kehidupan masyarakat Minangkabau...”
Ini benar-benar mencemaskan!
Bagaimana bisa tim Kemendikbud/Pusat Buku yang ditopang 17 kurator dari kalangan sastrawan ternama dan 39 reviewer dari kalangan guru dan kepala sekolah berpengalaman beragam jenjang pendidikan sampai sedemikian sembrono menisbatkan karya monumental A. Fuadi (yakni trilogi Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara) sebagai karya saya?
Bagaimana jika info dalam “buku panduan” itu disampaikan mentah-mentah oleh guru SMA/MI kepada para anak didik tanpa sempat dicek lagi kesahihannya?
Dalam konteks novel Nagabonar Jadi 2, seharusnya tim penyusun “buku panduan” juga menambahkan informasi bahwa karakter Nagabonar ini diciptakan oleh Asrul Sani melalui film Naga Bonar (1986) dan mendapat penyempurnaan dari Deddy Mizwar sebagai aktor yang memerankan tokoh itu, sekaligus sebagai sutradara pada film kedua yang berselang 21 tahun kemudian (2007). Adalah fakta bahwa aetelah Asrul Sani, orang kedua yang paling memahami karakter dan sosok Nagabonar adalah Deddy Mizwar. Bukan saya. Maka apresiasi yang sepatutnya juga perlu diberikan kepada dua tokoh tersebut di dalam “buku panduan” secara gamblang sehingga tidak terkesan bahwa Nagabonar Jadi 2 merupakan karya orisinal saya, meski saya penulis novelnya.
Untuk kritik Nirwan saya cukupkan satu poin saja dari sejumlah poin lain (yang lebih serius) karena keterbatasan ruang tulisan ini. Bagi yang tertarik meneroka Surat Terbuka Nirwan Dewanto lebih seksama, silakan baca Surat Terbuka Nirwan Dewanto kepada Kurator Panduan Rekomendasi Buku Sastra.
Opini saya ini memang belum menyelusup ke jantung program “Sastra Masuk Kurikulum” yang dipersoalkan Nirwan, dan sejumlah kalangan lain yang riuh rendah di media sosial dalam beberapa hari terakhir. Saya hanya ingin menyajikan contoh sederhana tentang karut-marut penyajian “buku panduan” yang ternyata tidak berhasil memandu pembaca dengan informasi sahih.
3/
Sebagai contoh pembanding, saya sampaikan sebuah kegiatan di Bulan Bahasa Oktober 2009, di Auditorium SMA Pelita Harapan, Lippo Village, Karawaci, Kabupaten Tangerang, Banten. Saat itu saya diundang pihak sekolah untuk menjelaskan proses kreatif penulisan novel Nagabonar Jadi 2 dilanjutkan dengan tanya jawab dengan para siswa. Sebuah kegiatan literasi yang terlihat biasa saja, bukan?
Yang tidak biasa adalah seluruh murid sudah membaca novel itu sebelum acara dimulai sehingga diskusi benar-benar berjalan aktif dan produktif. Kualitas pertanyaan yang diajukan pun seperti dosen pembimbing yang menguji skripsi mahasiswa. Tidak ada pertanyaan trivia atau bersifat basa-basi.
Di tempat yang sama, pada Bulan Bahasa tahun sebelumnya, saya menyaksikan langsung bagaimana Ahmad Tohari juga mendapat pertanyaan kritis tentang Ronggeng Dukuh Paruk dari anak-anak SMA yang sudah membaca novel itu dan memiliki pengetahuan kesastraan lebih tinggi bahkan dibandingkan rerata mahasiswa (kecuali mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia).
Artinya, program semacam “Sastra Masuk Kurikulum” ini sebenarnya sudah berlangsung lama pada sekolah-(sekolah) tertentu, bahkan sekolah swasta, yang berdasarkan citra mereka—seperti Pelita Harapan itu—seakan tidak peduli dengan Sastra Indonesia, tetapi tanpa banyak publikasi gegap-gempita justru punya program serius mengenalkan karya penulis Indonesia.
4/
Kendati demikian, setelah melihat daftar lengkap 177 karya sastra yang direkomendasikan kepada anak didik dari jenjang SD-SMA, saya melihat kerja kurator (17 orang sastrawan produktif saat ini seperti Eka Kurniawan, Okky Madasari, Triyanto Triwikromo, M. Aan Mansyur, Abidah El-Khalieqy, Oka Rusmini, dan lain-lain) serta para reviewer (39 orang guru dan kepala sekolah) sudah cukup baik dan representatif dalam pilihan karya. Baik berdasarkan rentang tahun terbit karya yang mencakup satu abad (karya tertua adalah roman Si Jamin dan Si Johan gubahan Merari Siregar, terbit 1921), dan keseimbangan pilihan komposisi karya serius dan populer (ada seri Lupus dari Hilman Hariwijaya, Balada Si Roy karya Gol A Gong, atau Karmila dari Marga T).
Masuknya karya para kurator ke dalam daftar rekomendasi seperti Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan), atau Surga Sungsang (Triyanto Triwikromo), menurut saya bukan sebuah privilese “ordal” apalagi pengkhianatan idealisme, mengingat para kurator juga para penulis berbobot peraih beragam penghargaan penulisan di ajang nasional dan internasional. Sehingga, jika ke-17 kurator diharamkan merekomendasikan karya sendiri sebagai bacaan para siswa, maka untuk jangka panjang tidak akan ada lagi kalangan sastrawan yang bersedia ditunjuk menjadi kurator untuk tugas seperti ini karena berarti harus mengorbankan karya pribadi.
Terakhir, adalah lazim berdasarkan riwayat aneka ragam “daftar rekomendasi”, “karya pilihan”, atau apapun nama yang disematkan, hasil akhir akan selalu mengundang pro-kontra khalayak. Tak akan pernah bisa memenuhi keinginan semua kalangan.
Dengan semua kelemahan “buku panduan” dan—dugaan saya—kurangnya intensitas komunikasi antara tim kurator dan reviewer (eksternal) dengan tim buku Kemendikbudristek (internal), bagaimana pun sebuah ikhtiar nyata sudah dimulai.
Masih jauh dari sempurna, tentu saja. Seperti “tak ada gading yang tak retak” pun tak ada program yang bisa memuaskan semua pihak. Yang penting, jangan sampai langkah awal ini terhenti akibat menuai beragam kritik, atau setelah nanti berganti pemerintahan pada Oktober 2024 dengan konsekuensi klise “Ganti menteri, ganti kebijakan” seperti selama ini terjadi.
Kalau masih saja ada tabiat birokrasi berjalan seperti itu, maka “Apa kata dunia?”—meminjam ucapan khas Nagabonar, sang “Jenderal” pencopet dari Lubukpakam.
Cibubur, 26 Mei 2024
Akmal Nasery Basral adalah penulis novel Nagabonar Jadi 2.
Berita Terkait: Menanti Bumi Manusia di Pelajaran Pancasila