TEMPO.CO, Bandung - Kelompok MetaTeater menampilkan pertunjukan yang unik di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Senin malam, 25 Juli 2023. Bertajuk Sintesis Teater Dokumenter & Teater Interaktif, pementasannya ikut melibatkan partisipasi penonton yang berjumlah sekitar seratus orang. Temanya tentang teknologi masa depan yang terkait kepunahan tradisi dan budaya masyarakat.
MetaTeater Tunjukkan Hasil Riset Soal Ancaman Kepunahan Perajin
Pertunjukan selama sekitar satu jam itu merupakan kreasi Eka Nusa Pertiwi sebagai karya ujian akhir semesternya sebagai mahasiswi program pascasarjana di ISBI Bandung dengan minat Penciptaan Seni. Teater yang dibuatnya merupakan hasil pengembangan karya sebelumnya yang berjudul Flash of Life. Hasil risetnya sejak 2017 soal ancaman kepunahan perajin kain lurik di Yogyakarta, ikut melatari kisah pementasan. “Pertunjukan ini juga menghubungkan adegan-adegan dengan media sosial,” katanya.
Eka yang tampil bersama para seniman teater seperti Mohammad Wail, Wanggi Hoed, Nida Hanifah, serta Eko Bambang Wisnu, melakukan eksperimen penyampaikan pesan. Caranya dengan menggunakan bahasa lewat gerakan tubuh atau pantomim, seni rupa, syair kasidah burdah dan amanat Galunggung untuk merefleksikan ulang tentang keberlanjutan budaya leluhur.
Para pemain muncul bergantian dari berbagai arah di ruangan yang hampir gelap itu. Mereka berbaur dan berinteraksi dengan penonton yang berdiri juga kadang duduk di lantai karena tidak disediakan kursi.
Pemain MetaTeater berbaur dan berinteraksi dengan penonton. TEMPO | ANWAR SISWADI.
Sebuah Ingatan Tentang Dampak Kemajuan Teknologi
Saat pertunjukan, penonton beberapa kali dikirimi pesan berupa gambar stiker maupun potongan video dokumenter tentang kisah perajin kain lurik dari panitia. Komunikasi searah itu ikut menjadi bagian dari pementasan, termasuk kebebasan penonton untuk memotret atau merekam video dengan menggunakan lampu senter atau lampu kilat. “Itu untuk memberikan cahaya pada masa depan tradisi dan budaya kita,” ujar Eka.
Menurutnya manusia tidak bisa terlepas dari perkembangan teknologi. Namun di sisi lain, ada pihak yang terdampak dari kemajuan teknologi. Eka mengajak generasi muda untuk ikut memikirkan dampak teknologi pintar pada profesi juga seni budaya dan tradisi yang terancam punah. “Dengan teknologi kita bisa ikut melestarikan budaya kesenian tradisi yang sudah atau hampir punah,” kata dia.
Sutradara kelahiran 1 November 1990 itu merupakan seniman, aktris, peneliti, serta aktivis teater. Kariernya dimulai di Jakarta pada 2006 lalu hijrah ke Yogyakarta pada 2008 untuk mendalami teater di Institut Seni Indonesia. Keterlibatannya dalam film panjang seperti berjudul Mata Tertutup dan The Window, dan film lainnya berjudul Tengkorak.
Pilihan Editor: 40 Tahun Teater Payung Hitam, Sardono W. Kusumo Singgung Perang Rusia-Ukraina