Hanya memang, keinginannya itu tak cuma didasari kepentingan bisnis semata, tetapi juga didasari keinginan untuk mengembangkan musik tradisi di tanah air. Maksudnya?
"Ya, saya sejak 1990 silam, konsen ke musik tradisi atau orang menyebut sebagai musik etnik. Memang, tidak pure musik etnik tetapi dikolaborasikan dengan musik barat, sehingga lahir musik etnik kontemporer," ujarnya saat berbincang dengan Tempo di Jakarta, Senin (12/1)
Dan ihwal keputusan mendalami musik etnik itu, suami penyanyi rock Ita Purnamasari ini mengaku dilakukan karena ia baru menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan dalam bermusik salah. Saat awal mengenal instrumen musik, ia tak mempelajari instrumen musik yang sejatinya bisa menjadi sumber yang kaya bagi musik kontemporer yang ada saat ini, yaitu musik etnik.
Maklum, sejak umur enam tahun Dwiki belajar piano klasik, dan tujuh tahun kemudian ia belajar piano jazz. Sementara, saat itu ia tak dibarengi dengan belajar musik etnik. Menurutnya, cara itu salah. "Karena itu, sekarang di sekolah musik Farabi, dalam kurikulumnya, saya wajibkan ada apresiasi terhadap musik tradisi. Agar tidak mengulang kesalahan yang dulu," ujarnya sembari tertawa.
Terlebih, kata personil kelompok musik jazz Krakatau ini, dirinya juga merasa miris melihat anak-anak muda yang mulai menggandrungi hiburan terutama musik produk barat. "Sehingga anak-anak ini sudah tercerabut dari akar budayanya. Mereka secara tak sengaja telah meninggalkan budaya yang ada," sebutnya serius.
Padahal, di era global seperti saat ini, kebudayaan pop dari barat tak terkecuali musik, akan mengalami titik jenuh. Sehingga, orang pun akan berlomba-lomba menggali karya baru dari musik etnik. Apalagi, sifat musik etnik yang pentatonic sangat kaya dengan irama yang dihasilkan.
"Jadi kalau kemudian anak-anak muda itu akan kembali mempelajari musik etnik dari orang lain, kan celaka namanya," terangnya.
Tapi, buru-buru Dwiki menambahkan bahwa langkahnya itu bukan berarti anti musik barat. Tetapi malah sebaliknya, dengan menguasai musik tradisi dan musik barat, siswa didik sekolah itu diharapkan, di era global saat ini, bisa memberi warna musik kontemporer dengan musik tradisi. "Istilah kerennya, mereka bisa melakukan cross culture dengan tidak meninggalkan akar budayanya," tambahnya.
Yang terang, meski berbisnis, Dwiki juga tak lupa meninggalkan idealismenya untuk memberikan sumbangan bagi bangsa ini. "Oh ya pasti itu. Kita harus memberi manfaat, minimal bagi lingkungan kita, sesuai dengan kemampuan kita.. iya kan?" ujarnya. Wahh setuju.
ARIF ARIANTO