TEMPO.CO, Jakarta - Jika membuka Google hari ini, terdapat Google doodle dengan figur perempuan sedang menulis pada kertas-kertas yang berterbangan. Figur itu adalah seorang novelis pertama di Indonesia, Sariamin Ismail. Seorang puan yang lahir pada 31 Juli 1909 di Talu, Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat.
Sariamin Ismail merupakan seorang perempuan yang berprestasi dan suka menulis sejak kecil. Ia sudah memiliki kebiasaan menulis sejak kecil. Pada umur 11 tahun, ia telah menulis buku harian yang diberi nama Mijn Vriendin. Pada usia 16 tahun, ia menulis artikel-artikel yang berkaitan dengan semangat perempuan. Tulisan pertamanya bertajuk “Betapa Pentingnya Anak Perempuan Bersekolah”. Kemudian tulisan ini dimuat pada majalah Asjsjaraq pada 1926.
Ia mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar (Gouvernement School) dan tamat pada 1921. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Pendidikan Sekolah Guru (Meisjes Normaalschool) di Padang Panjang, selama empat tahun dan tamat pada 18 April 1925. Setelah lulus dari sekolah gurunya, ia mengajar di Sekolah Gadis (Meijesvolgscjool) di Bengkulu.
Profesi utamanya adalah seorang guru. Namun di sela-sela kesibukannya, ia menjadi seorang penulis. Tulisan-tulisan yang ia terbitkan cukup tajam dan menggetarkan semangat kemerdekaan, dunia perempuan, dan kondisi sosial sekitarnya. Selain itu, karya sastranya juga berurusan dengan kekasih yang bernasib sial dan peran takdir, serta editorialnya membahas anti-poligami.
Tulisannya diterbitkan di berbagai majalah, seperti Asjsjaraq, Sri Pustaka, Bintang Hindia, Sunting Melayu, Keutamaan Istri, dan surat kabar Persamaan. Kemudian, ia menerbitkan novel pertama bertajuk “Kalau Tak Untung” pada 1933. Buku ini diterima oleh Balai Pustaka pada 1932. Melalui buku ini, ia menjadi novelis perempuan pertama yang dapat menembus Balai Pustaka.
Banyak karya-karya yang telah diterbitkan, mulai dari novel, puisi, cerita anak, bunga rampai, dan lain sebagainya. Namun pada 1941, ia berhenti menulis karena kondisi memaksanya untuk menjadi tulang punggung keluarga. Sebab ia harus mencari nafkah, ia khawatir untuk masuk penjara dan memutuskan berhenti menulis. Namun, pada 1970, ia kembali menulis.
Pada usia yang telah lanjut, novelis perempuan Sariamin Ismail aktif dalam organisasi sosial seperti Persatuan Wredatama Republik Indonesia dan Wanita Islam.
JACINDA NUURUN ADDUNYAA
Baca: Ini Gaya Google Doodle Rayakan Kemerdekaan Indonesia ke-75