TEMPO.CO, Jakarta - Komika dan sutradara, Ernest Prakasa ikut berbicara mengenai kasus rasisme yang menewaskan George Floyd pada 25 Mei 2020 di Minneapolis, Amerika Serikat. Ia pun mengatakan, di Indonesia pun persoalan rasisme sudah berlangsung ratusan tahun.
"Kasus rasisme di Amerika Serikat, di mana warga kulit hitam dipersepsikan lebih kriminal oleh kepolisian sehingga mereka cenderung lebih keras bahkan mematikan terhadap mereka," kata Ernest di IG TVnya pada Rabu, 3 Juni 2020.
Sutradara Susah Sinyal dan Imperfect ini mengatakan, rasisme merupakan persoalan kemanusiaan yang amat kompleks. Ernest mengaku sebagai korban rasisme di Indonesia hingga membuatnya benci terhadap orang-orang yang berlaku rasis kepadanya karena dia beretnis Cina.
"Gue ketika tumbuh besar, gue mikir salah gue apa? Gue enggak salah apa-apa, gue cuma salah lahir saja, lahir Cina sampai mati gue akan jadi Cina. Dan gue mengalami diskriminasi oleh sesuatu yang bukan gue pilih, itu sebuah ketidakadilan yang dialami oleh kelompok minoritas di manapun," ujarnya.
Mural George Floyd bersama tokoh-tokoh lain, salah satunya Macolm X di sudut Martin Luther King Blvd. Foto: KNWA
Ia kemudian berusaha berdamai dengan perundungan, diskriminasi yang dia alami. Dari buku dan referensi yang dibacanya, Ernest memahami bahwa persoalan rasisme itu amat kompleks tidak sekadar perbedaan etnis, agama, dan warna kulit saja.
"Rasisme di Indonesia dan di Amerika juga beda. Kulit hitam di Amerika itu cenderung kriminal dan berbuat kekerasan, rasisme orang Cina di Indonesia itu, orang Cina itu pelit, sok elit, eksklusif, enggak mau bergaul dengan pribumi dan lain sebagainya," ucapnya.
Menurut Ernest, akar masalah rasisme itu berbeda. Di Indonesia, kata suami Meira Anastasia ini, rasisme muncul karena ulah VOC, perusahaan dagang di Belanda yang menjadi kolonial Indonesia selama berabad. "Mereka bikin divide et impera antara orang bule, orang pribumi atau bumiputera menurut istilah mereka, dan Timur Asing, istilah Cina menurut mereka. Bumiputera yang kerja keras, tapi orang Timur Asing yang digandeng untuk mengisi posisi-posisi tertentu," katanya.
Ernest Prakasa ikut tantangan 10 years challenge. Instagram
Isu ini sengaja dimainkan VOC untuk memecah belah lantaran di beberapa daerah orang Cina dan pribumi tidak masalah. "Orang Cina datang ke Indonesia, tidak merasa dirinya berbeda dengan pribumi." Bahkan, kata ayah dua anak ini, orang pribumi dan chinese bekerja bahu membahu melawan penjajah.
Kondisi ini, kata Ernest dilanggengkan di zaman Orde Baru. "Pak Harto mengeluarkan peraturan semua budaya CIna tak boleh dipertontonkan di muka publik, orang Cina harus punya nama Indonesia, disuruh dagang," ujarnya. Lantaran tumbuh dalam tekanan, orang Cina menjadi ulet dalam berbisnis. "Dan aturan Pak Harto itu membentuk sekat sampai sekarang."
Menurut dia, kendati saat ini tak ada lagi hambatan, dilihat dari banyaknya orang Cina yang menjadi politikus, entertainer, dan lain-lain, tapi stigma tetap langgeng. Ernest pun kini tak lagi marah meski masih mendapatkan perlakuan yang rasis. "Gue lihat rasisme ini adalah bentuk mekanisme survival," katanya.
Ia menjelaskan, kasus yang menimpa pada George Floyd ini bisa mendorong kita agar kejadian itu tak terulang lagi. "Rasisme itu lahir dari steriotipe. "Inilah yang melanggengkan rasisme di tengah kita. Steriotipe itu bisa langgeng karena tiap orang bergau dengan berbagai macam orang," ujarnya.