TEMPO.CO, Solo - Sejak buku kumpulan puisi pertamanya, Selepas Bapakku Hilang, diluncurkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 2009, cibiran sering mendera Fitri Nganthi Wani. Tidak sedikit orang menganggap Fitri hanya mendompleng nama besar bapaknya, Wiji Thukul.
Baca: Album Kedua Merah Bercerita Tanpa Puisi Wiji Thukul
“Ada juga yang bilang karya bapakku terlalu suci untuk ditebengi puisiku. Saat buku pertama itu saya sampai stres karena selalu dibanding-bandingkan,” kata Fitri saat ditemui Tempo di sela acara apresiasi buku kumpulan puisi keduanya, Kau Berhasil Jadi Peluru, di Studio Kopi nDaleme Eyang Kakung di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, pada Senin malam, 3 September 2018.
Memang sulit mengenyahkan bayangan tentang Wiji Thukul –penyair dan pejuang demokrasi yang konon hilang pada kurun 27 Juli 1996 sampai April 1998– dari puisi-puisi Fitri. Membaca judul kumpulan puisi keduanya saja, yang baru diluncurkan pada 8 Juni di Yogyakarta, ingatan orang akan langsung tertuju pada Aku Ingin Jadi Peluru, kumpulan puisi Wiji Thukul yang diterbitkan pada 2000.
Dalam kata pengantar di buku Kau Berhasil Menjadi Peluru, kurator Gunawan Maryanto menuliskan, “memilih dan membaca puisi-puisi Fitri Nganthi Wani dalam kumpulan ini saya mesti berhati-hati. Biografi Wani –bahwa ia adalah anak Wiji Thukul dengan segala semestanya– menyelip di banyak puisinya.”
Tentu saja, stigma “besar karena nama bapaknya” itu kian dalam menggores luka Fitri muda yang baru berumur 20 tahun saat menerbitkan kumpulan puisi pertamanya. Tapi Fitri tidak mau berhenti. Menulis baginya adalah obat paling mujarab untuk meredam segala pahit getir masa lalunya.
“Di kumpulan puisi kedua ini aku sudah berdamai dengan semua itu. Aku juga sudah menyadari itu (pengaruh dari Wiji Thukul) tidak bisa lepas. Mungkin dulu karena faktor umur juga. Sebagai bocah, kabeh omongane uwong kudu tak rungokke, kudu tak gugu (semua omongan orang harus kudengarkan, harus kuyakini kebenarannya),” kata Fitri yang kini berumur 29 tahun, bersuami, dan telah dikaruniai seorang anak berumur enam tahun.
Beragam komentar bernada miring terhadap buku pertamanya justru menjadi cambuk yang melecut Fitri untuk lebih peka dalam mengolah rasa, memilih dan menyusun kata menjadi puisi-puisi baru. “Sekarang kalau lihat buku pertama itu malu juga. Kok jelek, kok aku dulu gitu ya. Ternyata hampir semua penulis juga begitu. Bahkan ada penulis yang nggak mau buka lagi buku pertamanya,” kata Fitri.
Meski demikian, 1.000 eksemplar buku Selepas Bapakku Hilang yang diterbitkan PUSdEP Universitas Sanata Dharma itu ludes tak bersisa. Setelah penerbitan buku pertamanya, selama sembilan tahun berproses, Fitri telah menyetor 271 puisi baru kepada kuratornya, Gunawan Maryanto.
Hasilnya, terpilih 52 puisi yang dikumpulkan dalam Kau Berhasil Menjadi Peluru. Buku tipis yang diterbitkan Warning Books Yogyakarta, dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, ini dibanderol Rp 50.000. “Jadi masih ada stok sekitar 200’an puisi lagi sementara saya masih terus menulis. Akhir-akhir ini saya juga belajar menulis cerpen,” kata Fitri yang kini sedang merintis usaha produk perawatan kecantikan buatan tangan di rumahnya di Solo.
Selama sembilan tahun berproses, dari buku pertamanya sampai sekarang, Fitri bisa menyimpulkan bahwa nggak semua omongan orang musti dituruti. “Kadang orang yang ngomong itu besok belum tentu ingat kalau kemarin habis ngatain kamu. Jadi sekarang aku ya sudahlah terserah kalian. Aku bisa menulis sesukaku, kamu juga bisa berkomentar sesukamu,” kata Fitri.
Berdiri di atas kaki sendiri alias bebas dari embel-embel identitas siapapun, menurut Fitri, adalah impian tiap penulis. “Tapi kita kan nggak bisa terlepas dari mana kita berangkat, juga dari trauma-trauma dan masa lalu yang membesarkan kita. Meski bisa lepas pun, aku merasa tetap ada sedikit hantu-hantu yang menempel dari masa lalu yang membentuk aku yang sekarang,” kata Fitri.
Meski puisinya tidak jauh berbeda dengan gaya bahasa Wiji Thukul yang lugas dan meledak-ledak, Fitri berujar, hal itu adalah dampak dari kepergian bapaknya yang menimbulkan masalah berkepanjangan kepada istri dan anak-anaknya. “Nah, mungkin emosi itu berpengaruh ke tulisan. Saya menulisnya enak saja, tapi dibaca orang kesannya lagi marah-marah,” kata Fitri sambil tertawa.
Fitri menambahkan, Wiji Thukul menghilang saat dirinya baru berumur delapan tahun. Dalam ingatannya, Wiji Thukul adalah sosok bapak pada umumnya ketika di rumah. Jarang sekali Fitri kecil melihat bapaknya menulis atau mendapati tulisan bapaknya di rumah. “Dulu juga belum ada youtube. Jadi kalau dibilang aku kebawa karakter bapak, ikut-ikutan, aku rasa tidak mungkin. Dia lebih sibuk berkomunitas di luar,” kata Fitri.
Yang masih membekas di ingatan Fitri tentang Wiji Thukul hanyalah sanggar kesenian yang didirikannya di rumah, di wilayah Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres, Kota Solo. Tiap hari libur, kampungnya tak pernah sepi dari kegiatan seperti teater dan deklamasi.
“Karena sering melihat latihannya kakak-kakak di kampung, aku jadi ikut suka. Aku baru sadar bisa baca puisi setelah SMP,” kata alumnus SMP Pangudi Luhur Bintang Laut Solo itu. Kecintaan Fitri terhadap sastra semakin kuat ketika dia bersekolah di SMA Regina Pacis Solo. “Saya selalu suka pada pelajaran Bahasa Indonesia,” kata Fitri.
Setelah lulus SMA, Fitri pun melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, Fitri bergabung di Unit Kegiatan Program Studi (UKPS) Bengkel Sastra. “Tapi saya belum pernah terlibat dalam produksi (teater). Paling hanya bantu make up,” kata Fitri.
Di kampus, pergaulan Fitri dan sastra kian karib. Daftar buku bacaannya pun terus bertambah. Namun, baru sampai di semester tujuh, Fitri terpaksa putus kuliah demi merawat ibunya, Dyah Sajirah yang akrab dipanggil Sipon. Dari sang ibulah Fitri mendapat banyak pelajaran tentang kehidupan. “Ibu satu-satunya orang yang paling penting bagi saya. Dari ibu saya belajar memahami arti tawakal,” kata Fitri.
Semula, Fitri menganggap tawakal atau berserah diri kepada Tuhan hanya kata lain dari menyerah kalah. Namun, setelah merasakan langsung perjuangan ibunya yang selama belasan tahun menempuh jalan panjang terjal berliku demi mencari kejelasan dan keadilan atas hilangnya Wiji Thukul tapi tak kunjung membuahkan hasil, Fitri mulai memahami bahwa manusia memiliki keterbatasan.
“Ketika dampak beratnya beban pikiran dari sampai menimbulkan sakit fisik, itu tandanya kita sudah melampaui batasan sebagai manusia. O, ternyata tawakal tidak cuma diam. Ketika sudah mengusahakan apapun tapi hasilnya stuck di situ saja, ya sudah, berarti itu sudah bukan porsimu lagi,” kata Fitri.
Dan, menulis bagi Fitri adalah jalan terakhir setelah segala upaya yang ditempuh membentur tembok. “Ketika kamu sudah berhenti nggak bisa apa-apa lagi, bisamu cuma menulis biar orang tahu apa yang kamu rasakan. Ketika ngomong tak didengar, menulislah. Sopo ngerti wonge durung selo tapi sokmben isoh moco (siapa tahu sekarang orangnya belum longgar tapi kelak juga akan membaca),” kata sulung Wiji Thukul tersebut.