TEMPO.CO, Klaten - Fajar Merah adalah putra bungsu penyair sekaligus aktivis asal Kota Solo, Wiji Thukul, yang hilang sejak akhir 1998. Seperti ingin terbebas dari stigma “besar karena nama bapaknya”, Fajar Merah beserta tiga temannya yang tergabung dalam band Merah Bercerita kini sepenuhnya mandiri dalam menulis lirik untuk album keduanya yang berjudul Nyanyian Sukma Lara.
“Soal lirik, tidak ada yang kami adopsi dari siapapun. Jadi semuanya murni tulisan kami yang dihasilkan dari sharing-sharing, lalu menemukan sosusi, kemudian diaplikasikan menjadi lagu,” kata Fajar kepada Tempo pada Ahad, 2 September 2018.
Lewat album Nyanyian Sukma Lara, Fajar berharap Merah Bercerita bisa memperkenalkan identitasnya sendiri. Selain Fajar (gitar dan vokalis), Merah Bercerita digawangi oleh Gandhiasta Andarajati (gitar), Yanuar Arifin (bas), dan Lintang Bumi (drum). Mereka bersahabat sejak masih bersekolah di SMK Negeri 8 Solo yang lebih dikenal dengan nama lamanya, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI).
Fajar Merah (tengah) saat tampil di Kamis Manja #9, acara bulanan komunitas pegiat musik indie di kafe Lokal Jajan, Kabupaten Klaten, pada Kamis malam, 30 Agustus 2018. DINDA LEO LISTY / KLATEN.
Seperti diketahui, sebagai pendatang baru di dunia band indie Tanah Air, Merah Bercerita langsung melejit namanya setelah meluncurkan album perdananya pada 2015. Sebab, dalam album perdana yang diberi judul sama dengan nama bandnya, Merah Bercerita, itu mengusung beberapa puisi Wiji Thukul seperti Bunga dan Tembok dan Derita Sudah Naik Seleher.
Meski tidak lagi mengusung karya Wiji Thukul, lirik-lirik lagu nan puitis tapi tak melankolis masih menjadi ciri khas Merah Bercerita. “Kalau bicara soal tema cerita, permasalahan yang dihadapi satu manusia itu sama dengan manusia lainnya. Kita tidak bisa jauh dari masalah yang diciptakan oleh suatu sistem yang membuat banyak peraturan lalu melahirkan pro dan kontra,” kata Fajar.
Kendati demikian, Fajar tidak ambil pusing jika seluruh karya mandirinya bersama Merah Bercerita dalam album Nyanyian Sukma Lara masih bakal dicap mengekor puisi Wiji Thukul. Sebab, Fajar berkeyakinan bahwa tidak seorang pun -termasuk seniman yang menciptakan- berhak memaksa orang lain agar memiliki persepsi yang sama dalam menginterpretasi suatu karya.
“Aku juga tidak merasa bahwa aku bisa menggantikan posisi siapapun itu yang mempengaruhi hidupku, salah satunya Wiji Thukul yang kebetulan bapakku. Jadi manusia sebagai makhluk individu punya cara dan karakter sendiri untuk menjadi sesuatu yang bisa dikenal orang lain. Soal sama atau nggak sama, kalau dihubung-hubungkan ya akan jadi sama,” kata Fajar.Anak penyair kritis Wiji Thukul, Fajar Merah memainkan gitar dan membacakan puisi dalam Ngamen Puisi Istirahatlah Kata Kata di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 24 Januari 2017. Pembacaan puisi bersama anak kandung Wiji Thukul tersebut merupakan rangkaian acara nonton bareng film Istirahatlah Kata Kata. TEMPO/Nurdiansah
Meski mengusung lirik yang sepenuhnya baru dan menjanjikan kualitas rekaman yang lebih matang, rilis fisik album Nyanyian Sukma Lara hanya akan dicetak dalam jumlah terbatas. “Kami nggak akan bikin sebanyak album pertama karena secara konsep Nyanyian Sukma Lara ini tidak menjual. Secara bisnis aku tidak menjamin dari jualan konsep seperti itu. Ya sudah jalan saja. Perkoro urip yo akeh carane (soal bertahan hidup banyak caranya),” kata Fajar.
Adapun saat meluncurkan album perdananya, Merah Bercerita mencetak 1.000 keping cakram padat. “Sepertinya masih sisa sekitar 100 - 200 keping atau berapa lupa. Ini yang harus dikoreksi. Semoga kami dapat menemukan tim yang solid yang secara profesional kerja itu normal dan secara manusia harus bisa sama-sama hidup dan bahagia. Wis ngono thok (sudah itu saja),” kata putra bungsu Wiji Thukul ini.