TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara film Surat dari Praha, Angga Dwimas Sasongko, menyayangkan adanya tuduhan plagiarisme oleh akademikus Yusri Fajar terhadap filmnya. Tudingan tersebut, menurut Angga, merugikan nama baik dan citra profesional timnya. “Secara sepihak, ada penggiringan opini untuk menghakimi kami tanpa legal standing yang kuat,” ujar Angga saat menggelar konferensi pers di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, Senin, 1 Februari 2016.
Menurut Angga, hingga saat ini, Yusri belum menunjukkan itikad baik untuk membicarakan masalah tersebut. Yang ada, beredar kabar jika Yusri telah mengirimkan somasi. Namun, Angga menegaskan, pihaknya sama sekali belum menerima somasi dari pihak Yusri. “Kami tidak pernah menerima somasi sampai sekarang, jadi kami sulit memberi respons terhadap apa yang sebenarnya menjadi poin keberatan dari Yusri Fajar secara hukum,” ujar Angga.
karya Angga dituduh menjiplak cerpen Yusri yang berjudul sama dan diterbitkan empat tahun lalu. Padahal, menurut Angga, penulis skenario, Irfan Ramli, pun baru mengetahui cerpen karya Yusri saat dosen Universitas Airlangga tersebut mulai menyampaikan keberatannya di media.
Agustus 2015 lalu, saat proses syuting baru akan dimulai, perwakilan tim Surat dari Praha sempat mengontak dan bertemu Yusri. Lewat pertemuan itu, menurut Angga, sudah cukup jelas diketahui jika isi cerita dari film mereka berbeda dengan karya milik Yusri. “Pertemuan waktu itu benar-benar mengklarifikasi tuduhan dan kedua karya ini bisa dibandingkan isinya,” ucap Angga.
Angga melanjutkan, film Surat dari Praha memiliki legal standing yang sesuai dengan perundang-undangan hak cipta. Ia telah mendaftarkan paten karya tersebut di kelas 41 terkait dengan film bioskop, kelas 9 terkait dengan cakram digital, dan kelas 16 terkait dengan poster film.
Kesamaan judul dan tema karya, menurut Angga, bukan bagian dari pelanggaran hak cipta. Itu lumrah terjadi dalam berkesenian. Angga menyodorkan beberapa contoh judul novel yang sama dan hadir di tahun berbeda. Seperti Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono berjudul Perahu Kertas dan novel karya Dewi Lestari yang berjudul sama. Atau novel berjudul Pulang yang, setidaknya pernah ditulis tiga penulis berbeda dan mengangkat tema tak sama.
Secara tema, soal kehidupan eksil politik 1965 di Praha adalah bagian sejarah yang tak bisa diklaim sepihak. “Siapa pun bisa menceritakan peristiwa terkait sejarah dalam bentuk fiksi atau nonfiksi,” ucapnya.
Angga mengaku sudah menawarkan mediasi untuk melakukan pertemuan, ditengahi pakar hak kekayaan intelektual. Tapi, menurut dia, gagasan tersebut belum direspons Yusri Fajri.
AISHA SHAIDRA