TEMPO.CO, Jakarta - Pergantian pengelolaan Taman Ismail Marzuki (TIM) dari Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (BP-PKJ) ke tangan Unit Pengelola Teknis rencananya diadakan dalam serah-terima pada Selasa, 11 November 2015.
Ketua BP-PKJ Bambang Subekti mengatakan tidak keberatan dengan peralihan tanggung jawab administrasi ini. Namun ia mengkhawatirkan nasib seniman yang masih tanda tanya soal pemakaian fasilitas jika pergantian pengelolaan ini jadi dilakukan.
“Seharusnya pemerintah daerah dan UP menjelaskan kepada seniman, apakah perubahan lembaga itu mempengaruhi kegelisahan seniman ketika TIM bukan lagi menjadi rumah seniman,” ujar Bambang Subekti kepada Tempo di Taman Ismail Marzuki, Jumat, 7 November 2015.
Banyak para seniman yang menganggap sistem kerja UPT terlalu materialistis dan merugikan seniman. Misalnya, seniman akan dianggap sama dengan masyarakat umum dalam pemakaian fasilitas TIM. Seniman akan tetap dikenakan tarif untuk setiap aktivitas kesenian di area TIM.
Namun Bambang Subekti mengungkapkan bahwa selama ini belum ada sosialisasi dari pemerintah daerah soal nasib seniman jika TIM dikelola UPT. Karena itu, ia mengimbau agar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengadakan pertemuan dengan seniman untuk meluruskan polemik ini.
Baca Juga:
“Ini yang harus dijawab pemerintah. Bentuk keterlibatan seniman nantinya seperti apa? Apa seniman hanya diposisikan sebagai penyewa gedung pertunjukan, galeri, dan lahan? Apa seperti itu? Padahal selama ini mereka dengan leluasa mengekspresikan karya-karyanya di sini dengan bebas,” tutur Bambang.
Bambang juga menilai bahwa struktur kepengurusan UPT tidak pas untuk mengelola pusat kesenian. Menurut Bambang, semua pegawai UPT berstatus pegawai negeri sipil dan tidak punya latar belakang kesenian. Selain itu, para PNS ini diberlakukan jam kerja sampai pukul 4 sore, sedangkan kegiatan kesenian banyak berlangsung pada malam hari.
“UP yang sekarang ini tidak disiapkan untuk mengelola PKJ. Tidak punya latar belakang kesenian dan latar belakang manajemen, bagaimana mengelola pusat kesenian? Mereka orang baru semua,” ucap Bambang.
Karena itu, pendekatan UPT kepada para seniman akan sangat kaku, birokratif, dan tidak lagi membina pendekatan kekeluargaan seperti yang selama ini dibangun BP-PKJ bersama seniman.
“Orang BP-PKJ dibentuk dari tahun 1968. Mereka belajar dengan berdiskusi bersama seniman soal bagaimana pertunjukan dilayani dari sisi lighting, sound, pelayanan pengunjung, dan perizinan. Para seniman sudah menganggap BP ini keluarganya sendiri. Pendekatan seperti itu pasti tidak dimiliki tatanan birokrat. Birokrat itu kaku, jadi pendekatannya kekuasaan,” kata Bambang.
LUHUR TRI PAMBUDI