Malam itu, Aan juga bercerita tentang bagaimana ia menjalani kesunyian komunikasi dalam keluarga. “Saat kecil, saya sering kebingungan menyampaikan keinginan saya kepada ibu. Sebagai solusinya, saya menuliskan keinginan itu lewat surat, kadang-kadang dalam bentuk puisi.”
Menurut pustakawan Katakerja itu, manusia membutuhkan ruang sunyi untuk bisa menyimak diri sendiri dan puisi merupakan satu cara menyampaikan hasil penyimakan terhadap diri. Puisi, menurut dia, lahir dari ruang sunyi, ruang di mana manusia merefleksikan diri dan kehidupannya yang dituangkan dalam bentuk bahasa.
Sedikit berbeda dengan pengalaman dan laku Aan, Alwy Rachman mengatakan manusia pada dasarnya takut akan kesunyian dan kesepian. Manusia mengobati ketakutan itu dengan membentuk kelompok-kelompok.
Ia memberikan contoh sosok Nabi Muhammad. Seperti tercatat dalam sejarah, Muhammad adalah nabi yang tidak sempat melihat sosok ayahnya. Ketika Nabi masih bayi, ibunya juga telah tiada. “Bagaimana sosok ini kemudian menjadi begitu luar biasa berjuang menyebarkan pesan-pesan kebajikan dengan melewati keyatiman dan kesepiannya,” kata Alwy.
Kisah Nabi Muhammad sekaligus bukti nyata kesunyian adalah bagian dari sejarah perjalanan manusia. Kesunyian, kata Alwy lagi, sudah dialami manusia sejak berada dalam rahim ibunya dan akan berakhir di kuburan. “Jadi manusia pada dasarnya sudah yatim atau sendiri, ini bisa dilihat melalui sidik jari manusia tak ada yang sama.”
Alwy juga menuturkan, sebuah pencarian makna nurani senantiasa melalui proses mistifikasi. Alam disebutnya menyimpan begitu banyak makna kode ilahi yang masih penuh misteri dan terus berusaha diterjemahkan manusia. “Seperti Al-Quran yang memakai bahasa langit dan itu perlu dipahami maknanya.”
Adapun Quraisy menyatakan ada perpaduan antara unsur agama dan budaya dalam melahirkan karya-karya sastra. Al-Quran, dia menjelaskan, punya cara menyampaikan sesuatu yang erotis, yakni urusan persetubuhan dengan bahasa yang halus. “Tidak ada kata zakar dalam kitab Al-Quran. Kitab ini memakai bahasa langit dan itu butuh penafsiran,” kata Quraisy menjawab pertanyaan Sarsin, salah satu peserta Tadarrus Sastra.