TEMPO.CO, Jakarta - Lupakan dalang berblangkon, beskap, lengkap dengan keris terselip di belakang pinggang. Dalang Nanang Henri Priyanto atau dikenal dengan Nanang Hape yang menceritakan lakon Sumantri Sukrasana memilih mengganti blangkon dengan udeng.
Dia mengenakan kemeja dengan model kerah sanghai lengan panjang –mirip baju koko, dan kain plus selop. “Wayang urban, nontonnya rileks saja,” pesannya sebelum menampilkan Pegelaran Mahakarya Wayang Urban di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Rabu, 10 Juni 2015.
Di atas panggung terbentang layar putih dan berjejer wayang kulit yang tertancap di gedebog pisang. Nanang memainkan gunungan wayang kulit sebagai tanda cerita dimulai. Suara gamelan mengalun sebagaimana pertunjukan wayang kulit pada umumnya.
Senyampang itu, sekelompok anak muda melantunkan musik blues. Musik tradisional berpadu dengan sentuhan kekinian. Begitu pula dengan cara Nanang mengemas cerita Sumantri Sukrasana.
Kisah ini sejatinya sederhana saja. Sukrasana diperintahkan oleh Raja Maespati, Prabu Harjunasasra untuk memindahkan taman Sriwedari dari Magada ke Maespati, demi mendapatkan Dewi Citrawati. Namun Nanang menambahkan sentuhan agar pesannya mudah diterima penonton.
Caranya, menerjemahkan karakter Sukrasana menjadi empat tokoh berbeda. Mulai dari Sukrasana rupa wayang kulit, Sukrasana yang ‘dicomot’ dari anak muda pemain bass, Sukrasana berpenampilan perlente bak eksekutif muda, sampai Sukrasana bewujud pesilat Yayan Ruhian.
Bagi Nanang, menjadi dalang pada dasarnya adalah mendongeng. “Yang penting, nilai apa yang dipetik dari jalinan cerita itu,” ujarnya. Sumantri menggambarkan sosok pekerja keras, setia kepada bosnya, dan gigih dalam menjalankan tugas.
Tapi, saat mengukir prestasi lantaran mampu memindahkan taman Sriwedari, dia melupakan cinta kepada adiknya, Sukrasana. Padahal, Sukrasana yang digambarkan seperti raksasa kerdil punya andil dalam memindahkan taman itu. Abai akan jasa adiknya, Sumantri tega melepaskan anak panah hingga menembus jantung Sukrasana.
Ono Dino, Ono Tresno
Ono dino, ono upo
Ono upo, ono doyo
Ono doyo, ono kerjo
Ono kerjo, ono dunyo
Ono dunyo, ono tresno
Ono tresno, nek ono dunyo
Menurut Nanang, tak sulit menerjemahkan kisah Sumantri Sukrasana dalam kemasan modern. Dia dan 16 pemain lainnya berlatih dalam tempo dua pekan. Saking mudahnya, Nanang juga membuat sedikit analogi kekinian dari cerita perwayangan saat Dewi Shinta dikurung Rahwana. Pada era sekarang, Shinta dikurung bisa diartikan para pekerja di gedung-gedung bertingkat yang terkungkung dengan jam kerja.
Sementara itu, pemeran Sumantri versi pencak silat, Yayan Ruhian mengatakan mempelajari karakter dan membuat gerakan silat yang cocok selama dua hari. “Wayang dan silat merupakan warisan sejarah dan seni budaya yang sangat indah bila dikolaborasikan dalam satu konsep pertunjukan,” katanya.
Selama hampir satu jam, penonton disuguhkan dengan tensi pertunjukan yang naik-turun. Saat penonton terbawa suasana sedih ketika Sukrasana meregang nyawa lalu mati, tiba-tiba asisten dalang muncul ke tengah panggung dan berujar “cut!”. Kekhusyukan pecah. Nanang mengaku sengaja memainkan emosi penonton agar tak cepat bosan. “Setiap sekitar 30 menit kami beri penyegaran,” katanya.
RINI KUSTIANI