Riesa, salah satu raver—sebutan penggila rave party—tiba di sana pukul 11 malam. Jalannya sempoyongan, sambil jejeritan dengan delapan temannya. Di parkiran—di dalam mobil—sebelum masuk, ia menenggak Jose Antonio Cuervo. Dandanannya cuek: kaos buntung, celana pendek, dan sandal jepit—tapi tetep kece. "Kalau pakai baju sopan, gerah dong, lagi pula hujan," ujar mahasiswi perguruan tinggi negeri ini.
Raver tidak mau membiarkan hujan merusak pesta mereka. Karena ini adalah rave—yang membuat mereka justru merasa berenergi dan di luar kendali walau hujan. Istilah rave sendiri berusia hampir empat dekade, sebagai gerakan dan genre musik. Dia hidup dengan akronim PLUR, singkatan dari peace, love, unity, respect. Raver kerap dibandingkan dengan hippies, karena cinta mereka untuk musik dan perdamaian.
Di panggung utama Garuda Ice Land, DJ Yasmin, dara cantik kelahiran Lombok, membuka pesta. Penonton menari dengan jas hujan. Sedangkan yang lain hujan-hujanan di atas lumpur. Saat pemutar cakram (DJ) lokal, Angger Dimas, mengambil alih, penonton mulai panas. Ia mendapat sambutan luar biasa dengan lagu remix Don't Look Back In Anger.
Kerumunan menjadi liar saat Anton Zaslavksi alias Zedd, DJ berusia 24 tahun asal Jerman, memainkan Spectrum. Meriam laser melesat, ledakan asap kembang api mewarnai penampilan Zedd yang dilatarbelakangi layar besar. Penonton terus melompat bersama Zedd. Apalagi saat dia membawakan Wake Me Up dengan bass berat.
Setiap kali Zedd memainkan salah satu single-nya, kerumunan berteriak, dan menyanyikan liriknya seperti mereka di konser Katy Perry. Hit besar seperti Clarity dinyanyikan riuh, meski tanpa ada Foxes, penyanyi Inggris yang menjadi duet Zedd di lagu itu.