TEMPO.CO, Bantul- Komunitas seni Taring Padi, Yogyakarta akan memamerkan 25 karya seni berbentuk kartu pos antikekerasan terhadap perempuan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2013. Seluruh karya seni yang akan dipamerkan merupakan karya peserta pelatihan sablon bertema "Perempuan", yang digelar di Dusun Sembungan, RT 02, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, 3-6 Maret 2013.
Semua peserta juga terlibat dalam diskusi persoalan perempuan, seperti perda yang mendiskriminasikan perempuan di beberapa daerah, kekerasan dan stigma terhadap perempuan. Peserta berasal dari anggota komunitas Taring Padi dan komunitas seni lainnya.
Dia menjelaskan proses pembuatan kartu pos dimulai dengan membuat desain. Desain menggunakan teknik tempelan kertas, komputer. Desain itu kemudian dicetak menggunakan photo sol atau alat untuk afdruk. Semua desain yang telah diafdruk akan dicetak dalam bentuk kartu pos. Untuk mencetak satu desain melalui photo sol setidaknya membutuhkan waktu 20 detik. Alat-alat untuk membuat desain meliputi tinta, spidol, pena.
Peserta pelatihan dari Australia Annie Sloman, mengatakan sengaja memilih desain gambar berupa vagina sebagai simbol terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Karya itu menampilkan kata-kata bertuliskan tubuhku otoritasku. Ia butuh sekitar 3 jam untuk menghasilkan satu desain.
Di Indonesia, ia melihat perempuan banyak yang tidak bebas memperlakukan tubuhnya sendiri. Dia mencontohkan banyaknya kasus kanker leher rahim karena terlambat terdeteksi. "Perempuan di sini kurang punya hak terhadap tubuhnya sendiri," kata Annie yang juga anggota Taring Padi.
Peserta lain, Fitriani Dwi Kurniasih, mengatakan membuat desai berupa perempuan yang berpayung. Payung itu digambar rusak atau bolong di tengahnya sebagai simbol ketidakjelasan aturan. Payung yang bolong menyimbolkan perda-perda syariah sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. "Ada ketidakadilan gender dalam pembuatan perda-perda itu," katanya.
Taring Padi dikenal sebagai kelompok yang memproduksi poster dan pamflet pada masa Reformasi. Pada 1998 kelompok ini bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi. Kelompok seni ini tetap memilih jalur turun ke kaum pinggiran.
SHINTA MAHARANI