TEMPO.CO, Jakarta - Lagu Sunda Buhun berjudul Lagedur menjadi pembuka penampilan Jipeng. Alunan musik sangat harmonis ketika seorang pemain Jipeng mulai meniup terompet yang disambung suara trombon dan musik degungan gong.
Di atas panggung, 12 orang pemain Jipeng, dengan baju pangsi hitam dan ikat, dengan sangat mahir memainkan Jipeng di depan puluhan pengunjung. Gesekan biola yang dipadu suara tabuhan gendang menjadi sajian kesenian yang unik.
"Saya baru tahu ada seni tradisi Jipeng. Unik, alat-alat marching band, tapi lagunya Sunda banget," kata Nurlaela Purnawati, mahasiswi jurusan seni tari STSI Bandung, yang menonton Jipeng untuk bahan referensi tugasnya.
Itulah Jipeng, kesenian khas tanah Parahyangan, tampil di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat selepas hujan turun, Sabtu malam, 10 November 2012. Tampak puluhan pengunjung antusias menyaksikan seni musik Jipeng dari Kampung Cipta Gelar, Kabupaten Sukabumi.
Jipeng adalah jenis musik tradisi kampung Cipta Gelar yang diakulturasi dari alat musik barat. "Jipeng itu ada kaitannya dengan kedatangan Belanda ke Cipta Gelar ratusan tahun lalu," kata Ende, keluarga Kasepuhan Cipta Gelar.
Jipeng berasal dari kata 'tanji' dan 'topeng'. Tanji adalah alat musik seperti marching band atau di Betawi dikenal dengan Tanjidor. Sedangkan kata 'topeng' digambarkan dengan budaya jaipong dan kesenian daerah lainnya. "Jipeng adalah hasil kolaborasi alat musik tanji dari barat yang ditopengkan menjadi lebih berciri khas Sunda," kata Ende, yang juga adik dari Abah Ugi Kasepuhan Cipta Gelar.
Ende menjelaskan, lagunya akan terdengar bukan seperti parade marching band, tapi kaya dengan cengkok Sunda. Pada masa penjajahan dulu, Belanda datang ke Cipta Gelar dengan membawa ragam alat musik yang belakangan dipadukan dengan budaya Sunda. Kemudian warga Cipta Gelar menggunakan alat yang dibuat sejak tahun 1919 itu sebagai alat musik.
"Tapi kini kami sudah bisa main Jipeng dengan alat baru sumbangan dari Taman Budaya Jawa Barat," kata Ende. Jipeng, ia melanjutkan, menjadi seni tradisi khas Cipta Gelar yang setiap bulan ditampilkan, dan puncaknya pada upacara Serentaun.
Setelah dua lagu berjudul Lagedur dan Jalan Mares dinyanyikan, pada lagu ketiga, Cendol Hejo, suasana bertambah riuh. Tiga orang penonton yang tertarik dengan entakan musik dan cengkok lagu Cendol Hejo maju ke pelataran panggung, lalu menari mengikuti alunan lagu. Riuh tepuk tangan terdengar, lalu penonton lain pun ikut melantai, menari.
Suasana semakin meriah ketika sinden menyanyikan Lagu Kembang Beureum. Dilanjutkan dengan tarian jaipong yang disambung dengan guyonan orang, seperti longser, dari warga Cipta Gelar. Jipeng Cipta Gelar pun mampu menghipnotis penonton.
RISANTI | ENI S