TEMPO.CO, Yogyakarta- Peneliti musik asal Amerika Prof. Andrew Weintraub merilis buku hasil penelitiannya tentang musik dangdut berjudul ‘Dangdut, Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia’ di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Selasa 24 April 2012.
Dalam launching buku tersebut, guru besar musik Pittsburgh University Amerika Serikat itu mengatakan bahwa musik dangdut khususnya di Indonesia tak ubahnya dengan jenis musik lain yang terus berproses, dalam mengikuti perubahan selera masyarakat.
“Musik, apapun selalu berproses, mengikuti lingkungan dan keadaan sosial yang berubah sehingga membuat ide-ide kreatif selalu muncul dan terus berubah,” kata Andrew.
Dalam penelitiannya, Andrew menuturkan musik dangdut di Indonesia menjadi musik paling populer di kalangan masyarakat Indonesia sejak kemunculannya di tahun 50-an lewat orkes melayu. Hingga saat ini jenis musik yang identik dengan gendang dan suling ini pun telah mengalami pasang surut.
“Yang dulunya, pernah dianggap sebagai simbol musik kaum marginal, lalu mengalami masa puncak saat dikooptasi negara lewat media tahun 80 hingga 90-an dan akhirnya bisa diterima kelompok luas,” kata dia.
Buku tersebut merupakan hasil terjemahan dari buku aslinya ‘Dangdut Stories’. Alasan Andrew meneliti dangdut dan menuliskannya dalam bentuk buku karena dirinya sendiri mengaku jatuh cinta pada musik ini sejak tahun 1984. Saat itu ia masih duduk di program sarjana. Penelitian itu terus dilakukan sampai sekarang, ketika dirinya menjadi guru besar.
Selain membedah dangdut buku itu juga banyak mengulas perjalanan musik dangdut secara historis. Andrew sendiri tak ingin bukunya mirip buku sejarah kontemporer sehingga menyertai buku itu dengan sejumlah wawancara dengan para penyanyi dangdut yang pernah terkenal di eranya. Seperti Raja Dangdut Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, dan Elia Kadam. Tak lupa, dalam buku tersebut dia banyak mengulas tentang polemik antara dua penyanyi dangdut tesohor tanah air, yakni Rhoma Irama dan Inul Daratista terkait kontroversi ‘goyang ngebor’.
Sementara di sisi lain, anggapan tentang dangdut sebagai musik nasional juga masih dipertanyakan Andrew. Pasalnya musik ini justru lebih banyak digemari masyarakat di kawasan Indonesia bagian barat. Sebaliknya di bagian Indonesia timur, dangdut tidak begitu digemari.
“Dangdut masih digemari di wilayah Indonesia Barat. Meski ada dangdut di Maluku, tapi tidak begitu populer,” kata dia.
Sementara itu Antropolog UGM, Dr. Lono Simatupang menuturkan ciri khas musik dangdut terletak pada ritmik, lirik, melodi serta cengkok suara sengau sang penyanyinya. “Ada bagian menarik, kaitan cengkok dengan nuansa islami. Penyanyi lebih mudah beradaptasi dengan dangdut karena sedikit mirip teknik vokal seni baca Al’quran,” kata dia.
Sementara staf pengajar Prodi Kajian Budaya Media Sekolah Pascasarjana UGM Prof. Dr. Faruk HT, mengatakan dangdut selalu mengalami rezimentasi. Fenomena dangdut koplo saat ini muncul bukan karena jenis dangdut daerah melainkan konsep dangdut yang berbeda yang ingin ditampilkan. Dalam bahasa Farukh disebut sebagai dangdut berkelit.
“Bukan meliuk atau tidaknya sang penyanyi, bagaimana menjadi berbeda dan orang merasakan perbedaan itu,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO.