TEMPO.CO, Jakarta - Perupa Dadang Christanto menggelar pameran tunggal di Sangkring Art Space, Yogyakarta. Pameran yang berlangsung hingga 4 Februari mendatang itu diberi judul “Seeing Java; Manusia, Gunung, dan Lumpur”. Pameran ini, antara lain menampilkan foto-foto aktivis yang menjadi korban tragedi politik 1998 – seperti Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, dan Dedi Hamdun – yang dipajang bersama puluhan foto orang hilang yang lain di lantai satu Sangkring. Foto mereka tertempel pada bambu setinggi pinggang orang dewasa yang terpancang di atas potongan batang pisang.
Dadang Christanto adalah satu di antara seniman Indonesia yang sukses berkarier di kancah internasional. Sejak 1999, ia memutuskan tinggal di Darwin, Australia. Meski tinggal di luar negeri, Indonesia, terutama Jawa, tak luput dari perhatiannya. “Justru saat tinggal berjarak, malah ada kerinduan untuk melihat Jawa tidak sekadar kenangan,” kata Putu Sutawijaya, seniman Yogyakarta sekaligus pemilik Sangkring Art.
Sepanjang perjalanan kariernya sebagai seniman, karya Dadang tak pernah berhenti berbicara tentang sosial-politik-ekonomi. Ia menjadikan karya seni rupa sebagai model of a statement untuk menyampaikan pendapatnya tentang Indonesia, Tanah Airnya, dan Jawa--sebagai tanah kelahirannya. Artinya, seni rupa tak hanya untuk estetika seni, namun sekaligus alat.
Kurator pameran, Wahyudin, mengatakan, melalui “Seeing Java; Manusia, Gunung dan Lumpur”, Dadang mengajak memandang Jawa. Bisa jadi, jika dilihat dari ketinggian, Pulau Jawa memperlihatkan keindahan yang luar biasa. Gunung-gunung, hutan, hingga hamparan sawahnya yang hijau terbentang.
Namun, Wahyudin menambahkan, Dadang tak sekadar ingin menyikapi Jawa dalam persoalan estetika, melainkan juga keberadaan serta segala persoalan manusianya. “Selalu ada persoalan sosial-politik dalam manusia, gunung dan lumpur,” kata dia.
Misalnya, karya performing art berjudul "Survivor", yang terinspirasi dari peristiwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Peristiwa ini sangat kental dengan persoalan politik. Dari performing art itu, Dadang sekaligus mengajak publik merenungkan peristiwa politik lain yang tak pernah terselesaikan di Indonesia. Penghilangan dan penculikan orang salah satunya.
Pertunjukan semacam itu juga pernah ditampilkan Dadang pada 1996. Saat itu Dadang menampilkan “manusia lumpur” di Pantai Ancol, Jakarta, selama sekitar tiga jam. Meski bukan yang pertama, di sinilah letak pentingnya performance dan karya Dadang. “Ia mengajak melawan lupa,” ujar Wahyudin.
Lupa terhadap persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang tak pernah tuntas terselesaikan penanganannya. Persoalan itu tertumpuk menggunung laiknya tumpukan patung kepala dalam karya instalasinya yang berjudul “Java”. Seperti dalam wall text karya yang ditulisnya, “… Ini adalah salah satu interpretasiku terhadap Jawa. Dan itu (Jawa) adalah kesuraman bergunung-gunung.”
ANANG ZAKARIA