TEMPO Interaktif, Jakarta - “Neng, 20 ribu aja yah,” bujuk Ramidi. “Ogah ah, nanti di-salome lagi,” ujar Titi. “Nggaklah, abang sendirian aja, tapi bayarnya nanti yah,” Ramidi kembali merajuk. “Gila! 20 ribu aja ngutang. Sori ya!” ujar Titi menghardik si hidung belang.
Pelacur mungil itu kian meradang. Bergegas dia meninggalkan Ramidi yang wajahnya kusut menahan birahi. Sudah lama lelaki tambun itu ingin melampiaskan nafsunya kepada Titi. Namun, apa boleh dikata, “rezekinya” lagi seret. Beberapa kali hasil copetannya kandas lantaran kepergok massa.
Kisah hidup Titi hanyalah satu dari ratusan cerita para penjaja seks jalanan di kawasan pantai utara Jawa, atau Pantura. Dengan segala kemesuman dan benturan-benturan sosial yang terumbar, Teater Ciliwung menghadirkan polemik batin seorang Titi dalam naskah teater bertajuk Selamat Jalan Anak Kufur, di Teater Salihara, Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat-Sabtu malam, pekan lalu.
Pertunjukan ini merupakan bagian dari rangkaian Forum Teater Realis yang menghadirkan sejumlah kelompok teater selama satu bulan, setiap Jumat dan Sabtu. Kelompok teater yang meramaikan forum ini adalah Teater Satu dari Bandar Lampung, Saturday Acting Club dari Yogyakarta, Sakti Aktor Studio dari Jakarta, dan Oyag Forum yang berasal dari Bandung.
Kufur, yang dalam istilah Islam berarti mendustakan agama, diplesetkan menjadi sebuah pegangan hidup yang pantang terjadi bagi seorang perek profesional. Di bawah asuhan Ibu Warung, Titi harus menjunjung tinggi “derajat dan martabat” seorang perek. “Kamu harus tahu posisi kamu sebagai wanita sewaan maka bertingkah laku dan berperasaanlah seperti selaiknya,” hardik sang germo. Titi tak boleh menggunakan perasaan dalam dinasnya. Bahkan hasrat cintanya kepada seorang tukang becak bernama Rais pun selalu dihalangi agar tak sampai termakan oleh Titi. Jika sampai terjadi, maka Titi dianggap kufur.
Di bilik reot dan kumuh, malam itu Titi kedatangan beberapa tamu. Pembuka “dagangannya” diawali dengan kehadiran pria tolol yang ingin mengobati luka hati karena ditinggal kawin kekasihnya. “Katanya, kau mirip dengan mantan kekasihnya. Nah, ini ambo bawakan kawan. Jangan dilihat wajahnya, sebab pitinya banyak hah,” tegas Ape, seorang calo yang berharap mendapat uang seratus ribu sebagai imbal balik jasanya. Namun, transaksi itu gagal dilakukan lantaran sang lelaki terlampau lugu.
Lelaki calon pelanggan berikutnya membuat Titi kehilangan selera. Dibawa oleh Rais, lelaki bertingkah laku kemayu itu mengaku ingin sembuh dan jadi lelaki sejati dengan meniduri perempuan. Titi menolak mentah-mentah. Ia mengaku lebih jijik melihat si banci ketimbang lelaki hidung belang mana pun.
Titi menjadi perek setelah bercerai dari suaminya. Bagi Ibu Warung, keputusan anak asuhnya itu merupakan pilihan terbaik. “Kalau pria bisa suka lagi sama perempuan lain, kenapa wanita tidak. Jadi perek itu sebagai bentuk kemandirian, derajatnya lebih tinggi dari istri yang cuma dikawini buat nyuci piring, baju, atur uang belanja yang seringnya kurang,” katanya berulang kali.
Selamat Jalan Anak Kufur dibuat berdasarkan naskah Utuy Tatang Sontani. Sutradara Irwan Soesilo menghadirkannya ke atas panggung dalam balutan komedi. Dibalik dialog-dialog yang berkesan vulgar, terselip pesan tentang kesetaraan gender lewat karakter si Ibu Warung. Sebuah pesan terselubung yang jika ditelaah dari sisi lain mengungkapkan bahwa kemandirian perempuan terukur dari kemampuan ia berdiri di atas kaki sendiri. Meskipun sebenarnya banyak jalan selain menjadi perek, lingkungan Pantura yang telah "terkondisi sedemikan rupa" menjadi kambing hitam, betapa Titi terdesak oleh keadaan.
Di akhir cerita, kita melihat bagaimana Titi mulai labil. Ibu Warung mencium cikal-bakal kekufuran di hati Titi. Si perek mulai menyadari betapa terhinanya harkat kewanitaannya selama menjadi perek. Bahkan, doktrin sang germo telah menidurkan kebebasannya memilih jalan hidup, yang menjadi bentuk keasasian dasar sebagai manusia merdeka. Titi pun berang dan jatuh pingsan. Rais segera menjemput “bola” dengan membawa kabur Titi dengan becaknya. Yang tersisa hanya Ibu Warung yang meratapi hilangnya satu sumber periuk nasinya.
Mencomot nama lokasi dan daerah setempat untuk sebuah ide karya tentunya bukan tak berisiko. Seperti halnya film Arwah Goyang Karawang yang menuai protes masyarakat setempat hingga berujung pada penggantian judul menjadi Goyang Depe Jupe. Membentengi hal itu, Teater Ciliwung pun bersikeras bahwa mereka tak bermaksud menghakimi masyarakat Pantura. “Saya justru ingin mengedepankan pandangan kesetaraan gender itu yang sebenarnya tidak tersorot,” kata Irwan.
AGUSLIA HIDAYAH