TEMPO Interaktif, Ubud - Padi kuning berkilauan menghampar di sawah berundak yang dibelah oleh kelok sungai. Tiga gunung dengan ketinggian di atas 2.000 meter: Batukaru, Sangyang, dan Poohen, menjadi latar belakang yang sempurna. Sementara itu, para petani mulai bersiap-siap memanennya. Tak mengherankan bila para turis pun sibuk mengabadikan pemandangan mempesona itu.
Suasana kawasan Jatiluwih, Tabanan, Bali, yang meliputi wilayah seluas 303 hektare itu sesuai dengan arti namanya: keindahan yang sejati. Sudah lama kawasan yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Denpasar ini dikenal sebagai daerah penghasil beras merah. Jenis beras yang, karena keunikannya sering disebut pula sebagai beras "Dewa". Selain jenisnya yang pulen, kadar gulanya sangat rendah, sedangkan vitamin dan mineralnya sangat tinggi.
Penanaman dengan cara yang natural menjadi warisan turun-temurun yang terus dilestarikan. Terasering yang sangat rapi sejatinya merupakan kearifan untuk membagi air secara merata bagi seluruh petak sawah. Hal itulah yang membuat Grace M. Tarjoto, 54 tahun, jatuh cinta pada kawasan ini.
Awalnya, ketika pertama kali datang pada akhir 1990-an, ia layaknya turis biasa. "Saya kerap datang ke sini untuk menenangkan hati," ujar wanita asal Filipina itu kepada Tempo, Kamis 9 Juni 2011.
Lama-kelamaan, setelah berinteraksi dengan penduduk, ia prihatin karena di balik keindahan itu tersimpan kemiskinan warganya. Maklum, harga beras merah sama saja dengan beras putih, padahal hasil panennya lebih sedikit dengan jangka waktu tanam hampir tujuh bulan. Bandingkan dengan penanaman beras putih yang bisa dipanen tiga kali dalam setahun.
Fakta itu menimbulkan kekhawatiran suatu hari warga akan berubah sikap dan meninggalkan beras merah sebagaimana daerah-daerah di Tabanan lainnya. Padahal penanaman beras tersebut berkaitan erat dengan aneka ritual budaya di kawasan itu, mulai upacara menanam, memanen, hingga menyimpannya di lumbung. "Di situ saya merasa sangat sedih karena mereka seharusnya hidup sejahtera dengan semua karunia ini," ujarnya.
Wanita mapan dan berpendidikan tinggi ini rela menghabiskan waktunya sebagai petani, yang justru dalam era kini profesi ini makin ditinggalkan. "Saya ingin para petani di Desa Jatiluwih tahu bahwa mereka sebenarnya memiliki sumber pendapatan yang cukup menjanjikan dari beras merah yang mereka hasilkan. Alam (lahan sawah) yang subur di Desa Jatiluwih merupakan modal besar bagi petani. Inilah yang perlu mereka pahami," ucap istri seorang ahli mesin industri ini.
Untuk memberi pemahaman cara memproduksi beras merah yang baik dan benar kepada petani Jatiluwih, tak ada jalan lain kecuali dengan menjadi petani. Akhirnya pada 2003 sarjana ilmu kimia San Agustin University, Filipina, itu membangun fasilitas penyosohan beras modern. Sang suami, Heru Tarjoto, pakar tool design lulusan Oregon Institute of Technology, Amerika Serikat, turut membantu mewujudkan cita-citanya itu.
Melalui kelompok tani yang dibentuknya, Grace juga membantu melakukan perluasan pasar dengan metode pengemasan yang menarik, sehingga bisa masuk ke supermarket. Hasilnya, kini harga beras merah mencapai Rp 30 ribu per kilogram. Bahkan di Jakarta bisa mencapai Rp 60 ribu. Bandingkan dengan harga beras putih yang hanya berkisar Rp 4.000-8.000 per kilo.
Grace pun membantu mengembangkan produk pertanian dengan mendiversifikasi produk menjadi tepung, teh, dan kopi dari beras merah. Untuk memperkukuh pemasaran, sejak akhir 2010 produksi dari anggota kelompok taninya telah mendapat sertifikat organik dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman yang berafiliasi dengan lembaga dari Swiss.