Namun, ada “api dalam sekam” di rumah yang tampak damai itu. Anak lelaki tertua keluarga O’Brien, Jack, mulai menunjukkan pemberontakannya terhadap orang tua. Jack juga terlibat dalam beberapa kenakalan khas remaja di lingkungan tempat tinggalnya. Ini semua tampaknya buah dari sikap keras sang ayah yang ingin menegakkan disiplin agar anaknya memiliki masa depan cerah.
Peristiwa dan konflik yang berlangsung di seputar kehidupan keluarga O’Brien inilah yang menjadi cerita utama film The Tree of Life karya sutradara Amerika Serikat, Terrence Malick. Film ini dinobatkan oleh dewan juri, yang diketuai aktor Robert De Niro, sebagai penerima Piala Palem Emas (Palme d'Or), penghargaan tertinggi bagi film peserta Kompetisi Utama Festival Film Cannes (FFC) ke-64, yang berlangsung pada 11-22 Mei lalu. Film ini menyisihkan 19 film pesaing, termasuk sejumlah film yang lebih difavoritkan oleh sebagian besar pengamat dan kritikus film—jumlahnya lebih dari 3.000 orang dari berbagai penjuru dunia—yang meliput FFC.
The Three of Life bukanlah film sederhana, baik dari segi tema maupun penggarapannya. Menyaksikan film berdurasi 138 menit ini menuntut perenungan dalam, kesabaran ekstra, serta kemampuan tafsir yang tidak mudah, mengingat sejumlah simbolisasi yang digunakan sutradaranya untuk menyampaikan pesan utama: kejadian manusia serta hubungan kasih sayang antara orang tua dan anak sebagai penerus pohon kehidupan. Maka, dalam film ini, penonton disuguhi sejumlah efek khusus yang melukiskan proses evolusi alam semesta, sampai hadirnya makhluk hidup sebagai penghuni bumi. Tak kurang dari 20 menit adegan penuh simbolisasi itu dijejalkan sang sutradara.
Itu sebabnya, pandangan dan suara para kritikus terbelah dalam menilai film ini, termasuk ditandai dengan sebagian wartawan yang bertepuk dan sebagian lainnya mencibir, pada ujung penayangan perdana film ini di Teater Lumiere, gedung pertunjukan utama FFC. Majalah film Screen International, yang menerbitkan edisi harian selama berlangsungnya FFC, mengumpulkan 10 kritikus dari berbagai media di dunia untuk menilai 20 film peserta Kompetisi Utama. The Tree of Life meraih angka rata-rata total 2,8 (nilai tertinggi 4), masih di bawah perolehan film The Kid with a Bike (karya sutradara Dardanne bersaudara, Jean-Pierre dan Luc Dardanne dari Belgia), yang mendapat skor 3,1, ataupun film Le Havre (karya sutradara Finlandia, Aki Kaurismaki), yang menjadi favorit utama para kritikus, dengan meraih angka tertinggi 3,2. Film yang disebutkan terakhir ini mendapat penghargaan utama dari Persatuan Kritikus Film Sedunia (Fipresci), yang diumumkan sehari sebelum dewan juri FFC mengumumkan hasil penilaian mereka.
Dewan juri ternyata memiliki keputusan yang berbeda. Barangkali karena memang gugatan terhadap kehidupan yang disuarakan oleh Malick dalam filmnya itu bagaikan sepokok pohon yang menjulang tinggi dengan akar yang menghunjam dalam, yang membuat penonton akan merenungi sederet arti penting akan keberadaan kita sebagai manusia setelah pulang menyaksikan film ini. Kekuatan lainnya juga terletak pada kerja tata kamera yang terbilang memukau, seperti tak pernah statis, sehingga mampu menangkap semua momen penting yang dialami para tokoh. Ini ditambah dengan penjiwaan luar biasa Brad Pitt dan Jessica Chastain, yang berperan sebagai Tuan dan Nyonya O’Brien.
Film ini digarap Malick sejak 2008. Artinya, dia memerlukan waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya, sebagai cermin nyata dari pendekatan perfeksionis yang memang sudah dikenal lama melekat pada diri Malick. Penikmat film pun harus menantikan enam tahun sejak filmnya yang sebelum ini, The New World. Dia juga “hanya” menghasilkan enam film panjang selama rentang kariernya yang hampir empat dasawarsa sebagai sutradara, sejak meluncurkan film pertamanya, Badlands, pada 1973.
Malick memang ibarat seorang pertapa yang jarang muncul ke hadapan publik. Sekali ini dia muncul kembali setelah dinantikan dengan penuh harap terutama oleh penggemar fanatiknya. Sebuah kemunculan yang tak sia-sia, dengan Palem Emas kini berada di genggamannya.
ARYA GUNAWAN (CANNES)