TEMPO Interaktif, Jakarta - “Cukup ketik *666# lalu tekan Yes, Anda bisa langsung mendapatkan HP canggih ini. Bisa dibawa ke mana saja, ke tempat tidur, ayo; ke kamar mandi, oke; ke meja kantor, boleh. Kalau habis baterai, tinggal colok di belakang.”
Dua perempuan sintal dan seksi tengah mencoba merayu para penonton. Dengan iringan lagu India, Chaiyya Chaiyya yang kini dipopulerkan oleh Briptu Norman Kamaru, keduanya terus merayu. Gayanya terlihat begitu kenes.
Baca Juga:
Malam itu panggung Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, disulap menjadi medium televisi. Fragmen kedua perempuan seksi itu menjadi bagian dari tari karya koreografer Asri Mery Sidowati bertajuk Image, yang dipentaskan pada Sabtu dan Ahad malam lalu.
Lewat karya itu, Asri mencoba menampilkan gambaran tentang tubuh perempuan yang menjadi eksploitasi media. Image—karya terbaru alumnus Jurusan Tari Institut Kesenian Jakarta itu—mencoba mengkritik persoalan tubuh perempuan. Karya tari ini merupakan gambaran tentang tubuh perempuan yang kerap terpenjara berbagai norma dan konstruksi sosial masyarakat.
Image menampilkan empat penari perempuan dengan kostum seksi. Koreografi yang dipilih pun menonjolkan gerak tubuh perempuan yang tengah dieksploitasi media. Dalam posisi ini, Asri memilih medium mini-camera dan kamera jepret profesional sebagai perwakilan dalam cerita.
Satu mini-camera dibidikkan sendiri oleh seorang penari, lalu sisanya menyorot dari atas dan samping pentas dan ditampilkan secara hitam-putih pada layar proyektor yang menjadi latar. Penonton boleh memilih, melihat gambar lewat kamera atas yang memunculkan kombinasi gerak menarik, atau melihat langsung dari depan panggung. Keduanya merupakan angle yang sama menariknya.
Klak-klik bunyi kamera foto menyibukkan tiga penari lainnya untuk berpose cantik. Para penari, yang awalnya banyak bermain dengan telapak kaki kemudian mengumbar seluruh gerakan tubuh. Setelah bergaya bak foto model, ketiganya lantas berfoto bersama. Setelah itu, mereka menjepret para penonton. Begitu fotografer lenyap, ketiganya tergolek lunglai dengan desahan “fuhh” berkali-kali.
Sayangnya, pemaknaan Asri terhadap eksploitasi tubuh perempuan dalam koreografinya masih agak kurang dieksplorasi gerakannya. Durasi yang pendek, hanya sekitar satu jam, mungkin menjadi salah satu faktor yang membatasi eksplorasi gerak Asri dalam koreografinya itu. Padahal, ia seharusnya mampu menyuguhkan gerakan yang lebih kaya.
Di atas pentas, koreografi yang disuguhkan Asri justru terkesan asyik bermain dalam medium kamera mini yang dibawa penari untuk menyorot setiap lekuk tubuh dan anggota badan. Dari kepala, kaki, hidung, mulut, hingga turun ke perut. Bagian ini memakan durasi yang cukup lama dan tak terkemas secara maksimal.
Yang pasti, secara keseluruhan, pementasan Image tetap menarik. Terakhir, para penari menyuguhkan adegan yang cukup menantang dengan melepas rok mereka. Mereka mencoba memberontak dengan melakukan sesuatu yang lebih “menantang”. Menerobos keluar dari kungkungan sorot lampu kotak yang “membelenggu” keempat penari.
Lewat adegan menantang itu, Asri ingin menyampaikan sebuah pesan, “Tubuh yang kita miliki adalah hak prerogatif kita sendiri. Jadi ‘pede’ aja sama diri sendiri”.
Sebagai koreografer muda, Asri memang masih terbilang hijau. Tapi, ia telah menciptakan sejumlah koreografi yang patut diperhitungkan, seperti Gong si Bolong (2005), Loading (2006), Mago (2007), dan Merah (2008). Beberapa karyanya telah dipentaskan di Festival Salihara, Indonesian Dance Festival, dan di Cekoslovakia.
Selain itu, Asri terlibat dalam produksi 1001 Malam (2009) bersama Teater Populer serta menjadi koreografer dalam nomor Jalan Tamblong (2010) dan Pak SBY Bernyanyi (2011) produksi Dapur Teater pimpinan Remy Sylado.
AGUSLIA HIDAYAH