TEMPO Interaktif, Jakarta - Batavia 1880. Pesta meriah digelar di kediaman Ruud van Breukelen, seorang pejabat menengah di pemerintah Hindia-Belanda yang mengawasi keamanan dan ketertiban di Batavia. Satu per satu tamu undangan dipersilakan masuk. Tuan rumah ditemani sang istri, Victoria, menyambut para tamu dengan beragam hidangan menggiurkan. Di tengah keriuhan pesta, seorang pengawal datang menyampaikan laporan penting. “Pedang Pangeran Djajakarta hilang! Pedang Keadilan raib!”
Penduduk Batavia gempar. Pedang Pangeran Djajakarta membawa tuah tak terhingga bagi siapa saja yang menguasainya. Pedang itu juga menjadi penjaga kota dari segala malapetaka. Hilangnya penolak bala bakal membawa bencana besar. Gempa bumi, banjir, wabah penyakit, letusan gunung api, hingga pembantaian massal, seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Pedang itu harus ditemukan, bagaimana pun caranya, apa pun taruhannya.
Tugas pun diemban Thomas Xavier Makatita, seorang anggota marsose yang dikenal ulet dan pemberani tapi keji. Bekas begal yang dijuluki sang Hiu ini harus meringkus si pencuri pedang atau pulang dalam peti kayu. Pecinan jadi sumber kecurigaan. Pasukan marsose merangsek, menangkap, dan menyiksa orang-orang tak berdosa. Ong Seng Hok alias sang Naga, yang menyimpan luka pembantaian 1740, tak rela kaumnya kembali dianiaya. Dia mencari jejak pedang dari menara hingga ke Laut Jawa. Hilangnya pedang Pangeran Djajakarta juga mengusik saudagar kaya Mustafa putra Khalid dan Victoria van Breukelen. Mereka mempunyai misi serupa: segera menemukan jimat pedang Pangeran sebelum Batavia jadi neraka selamanya.
Kisah hilangnya pedang Pangeran Djajakarta dengan kemasan cerita silat peranakan gaya baru itu disajikan dalam bentuk interactive animated performance. Ini merupakan sebuah seni pertunjukan yang memadukan animasi, video mapping, dengan pertunjukan teater. Sebuah hasil kolaborasi antara penulis, animator, pengembang game, pemain teater, sejarawan, dan komikus. Seniman Inggris, Ian Livingstone, yang memproduseri game laris Lara Croft: Tomb Raider, serta novelis grafis Ed Hilyer, yang karyanya diterbitkan Marvel, DC Comics, dan Dark Horse, juga dilibatkan. Hasilnya, pada layar lebar, kita menyaksikan lukisan mural karya Harijadi Sumodidjojo yang dibuat lebih “hidup” berkat kecanggihan teknologi.
Penonton bukan cuma penikmat, tapi juga partisipan aktif dalam pertunjukan. Selama kurang-lebih 30 menit, penonton menjadi bagian dari pertunjukan. Berperan sebagai tamu undangan, membaur dengan para pemain teater dari Teater Koma, penonton digiring memasuki ruang etnografi Museum Sejarah Jakarta di kawasan Kota Tua. Pada akhir pertunjukan, penonton juga berkesempatan mengikuti permainan The Magic Torch Game. Menggunakan senter khusus, secara bergantian, penonton diminta mencari pedang yang hilang itu dengan menyorot layar menggunakan senter tersebut.
Pertunjukan interaktif ini menjadi awal petualangan seru epik interaktif Mystery of Batavia, yang digelar British Council bekerja sama dengan Pemerintah Kota Jakarta. Diluncurkan pada 12 Maret lalu, Interactive animated performance ini dapat disaksikan oleh masyarakat luas setiap hari Sabtu dan Minggu mulai 13 Maret hingga 15 Mei 2011.
Setelah menikmati cerita silat peranakan gaya baru, kita akan menyaksikan keajaiban yang lain karya asli Harijadi. Mural seluas 200 meter persegi yang memenuhi tiga bagian dinding itu menggambarkan Kota Batavia mulai 1880 hingga 1920. “Sejak pertama diciptakan atas pesanan Gubernur Ali Sadikin pada 1974, mural yang disebut-sebut oleh para sejarawan sebagai lukisan dinding terbesar di Jakarta itu tersembunyi dari mata publik di sebuah ruangan terkunci di Museum Sejarah Jakarta,” tutur Yudhi Soerjoatmodjo, Manajer Program British Council.
Pada 2010, sekelompok seniman Inggris dan Indonesia tak sengaja menemukan mural itu. Dari situ, selama setahun penuh, para kolaborator antarbangsa, lintas-profesi, dan multigenerasi ini, yang terdiri atas seniman Inggris dan Indonesia, sejarawan, penulis, artis, animator, desainer game, serta aktor teater, mencoba menerjemahkan misteri lukisan yang memotret penduduk multietnik Batavia pada zaman pemerintahan Belanda ini. Hasilnya adalah proyek Mystery of Batavia, yang bisa dinikmati tak cuma melalui pertunjukan interaktif, tapi juga permainan digital, yang bisa dimainkan pada layar komputer lewat medium Internet serta komik digital.
Lukisan mural itu memang istimewa. Di sana tampak ratusan karakter yang pernah hidup pada masa itu, mulai petinggi Belanda hingga copet pasar. Kita juga bisa menyaksikan lukisan Stasiun Jatinegara, Harmoni, Kota, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok, pecinan, pintu gerbang Amsterdam, yang lenyap dihancurkan pada zaman kemerdekaan, serta Kali Ciliwung, yang menjadi tempat favorit mandi para gadis. Harijadi juga melukis perkembangan transportasi Batavia. Lihatlah bagaimana sado bertenaga kuda, sepeda, mobil sederhana, dan trem berkompetisi di jalan.
Suasana pesta dan campur baur etnik, Eropa, Tionghoa, Melayu, serta Arab, yang memperkaya Batavia, direpresentasikan dalam lukisan pengantin Tionghoa. Juga pesta makan malam yang dihiasi musik para budak, aneka penganan masa itu. Kita juga bisa melihat hukuman gantung untuk para penjahat. Meski begitu, copet kelas teri masih berkeliaran dalam pesta topeng dan ondel-ondel. Tak ketinggalan, Batavia sebagai sentra ekonomi diwakili oleh gambar pasar buah, pedagang pikul dan gerobak dorong, tukang cukur, serta saudagar Arab, yang mengawasi pasokan hasil laut.
Sayangnya, lukisan itu belum rampung. Bagian atas mural setinggi enam meter itu masih berupa sketsa tanpa warna. “Mural tidak selesai karena dinding kian hari kian lembap, sehingga cat tak bisa menempel,” ujar Yudhi. Toh, semua itu tak mengurangi daya tarik mural secara keseluruhan.
Nunuy Nurhayati