TEMPO Interaktif, Yogyakarta -
Where did we come from?
Why all we here?
(Dream Theater by John Petrucci)
Di atas selembar kanvas berukuran 80X60 sentimeter, perupa F.X. Nanang punya cerita. Seekor kelinci bercinta dengan ayam. Dua binatang itu tergambar dengan cat akrilik. Kelincinya berwarna putih, seputih warna dasar lukisan.
Untuk menegaskan itu gambar kelinci, dibuat coretan membentuk gambar kelinci. Binatang itu tergambar sedang menggauli seekor ayam di depannya. Adapun warna ayam, dibuat kontras dengan kelinci. Hitam pekat. “Ceritanya, kelinci itu sedang memperkosa ayam.” kata Nanag.
Berjudul Free Sex, lukisan itu dipajang dalam pameran bertema “Identitas” di Bentara Budaya Yogyakarta, 15-22 Maret 2011. Selain karya Nanang, karya perupa lain – Didik Widiyanto, Ida Bagus Punia dan Alfairus Hazbi alias Boi – juga dipamerkan. Mereka adalah empat perupa yang tergabung dalam Kelompok Seni Rupa “Jopajapu”.
Menurut Nanang, Free Sex merupakan refleksi kegelisahannya terhadap masalah-masalah sosial dan budaya masyarakat kini. Berdalih modernitas, cara hidup kebarat-baratan ditelan mentah. Akibatnya, cara hidup di “kampung sendiri” terlupa atau ditinggalkan.
Nanang sengaja menggunakan idiom kelinci sebagai pemerkosa. Binatang itu dianggap cukup mensimbolkan gaya hidup kebarat-baratan. “Kelinci Playboy,” ujarnya. Adapun idiom ayam, “Itu adalah ayam cemani.”
Secara visual karya itu memang terkesan vulgar. Tak hanya terlihat dari karyanya yang berjudul Free Sex, pada karya Nanang lainnya juga hampir sama. Semisal, Honey & Moon. Dalam lukisan itu, Nanang melukis lelaki-perempuan dalam guyuran sinar rembulan malam.
Obyek itu memang tak realistis menggambarkan manusia. Namun dari bentuknya, jelas itu adalah lelaki dan perempuan. Apalagi, di pangkal paha kedua obyek, Nanang menambahkan gambar Lingga dan Yoni sebagai simbol laki-laki dan perempuan.
Honey & Moon, menurut Nanang, menggambarkan ketelanjangan. Namun, bukan telanjang dalam arti vulgar badani. “Itu hanya simbol,” ujarnya.
Pesan dalam Honey & Moon berbicara tentang keterusterangan dan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Selama ini, “pakaian” modernitas dianggap terlalu membenani “badan” nilai tradisional. Untuk itu, “kita harus berani menelanjangi diri sendiri,” Nanang menerangkan.
Pameran itu sendiri digelar sebagai upaya kembali menemukan identitas asli. Sudah terlalu banyak konsep yang membanjiri pikiran dari berbagai sumber informasi. Dunia demikian global. Silang dan pertautan budaya menjadi hal yang lumrah. Namun, haruskah dibayar mahal dengan lupa dari mana berasal dan hendak kemana kita melangkah?
“Identitas itu telah sangat rapuh,” kata Nanang. Kerapuhan identitas seperti itu dia luapkan dalam material lukisan yang digunakan. Dalam beberapa lukisan karyanya, dia terapkan campuran minyak dan cat tembok. Terang saja, karakter kedua material itu tak kompak. Akibatnya, retak seperti identitas yang telah rapuh.
Keberanian “menelanjangi” diri sendiri juga kental terasa pada karya perupa lainnya. Semisal, Karya Sarjana milik Ida Bagus Punia.
... dengan ini menyatakan bahwa, Ida Bagus Punia Atmaja .... dinyatakan lulus.... Oleh sebab itu kepadanya diberikan gelar Sarjana Seni (S.Sn.).
Kalimat itu tercetak jelas di selembar salinan ijazah miliknya. Ditempel di ujung kiri bagian bawah pada kanvas berukuran 140X120 sentimeter. Tentu saja, dengan kertas ijazah yang hanya seukuran kertas A4, masih banyak ruang tersisa di atas permukaan kanvas. Sebagai “penambal” kosong, beberapa obyek gambar tak beraturan dibuat dengan cat akrilik. Bentuknya abstrak. Namun sekilas, secara visual mirip pohon kaktus. Ada yang tegak berdiri, ada juga yang nyaris roboh.
Bagi Punia, itu adalah sindirian. Betapa mudahnya orang memberi klaim. Ini karya seni atau bukan. Padahal, karya seni bukanlah karya sembarangan. Apalagi, bagi mereka yang berpendidikan. Seperti umumnya sarjana di bidang ilmu lain, karya seni oleh perupa berpendidikan haruslah merupakan hasil riset. “Tak ada seni di Indonesia,” kata dia menyebut salah satu judul karyanya.
Tak Ada Seni Di Indonesia karya Punia dibuat di atas kanvas yang hampir seukuran dengan Karya Sarjana. Dibuat menyerupai ucapan selamat dalam karangan bunga, lukisan itu hanya berisi kalimat Tak Ada Seni Di Indonesia. Dengan bingkai dekoratif, karya itu dibuat dari bubur kertas sehingga mirip relief.
Dalam karyanya yang lain, berjudul Tiga Non, Punia mengingatkan. Di atas kanvas berukuran 70X65 sentimeter pada lukisan itu dia menuliskan “Sampai sekarang saya masih berpegang pada konsep tiga non yang sering diuraikan secara keliru oleh pengamat seni lukis”.
Menurut Punia, kalimat itu adalah ucapan Ashar, perupa asal Padang yang diidolakannya dan wajahnya juga dia lukis di kanvas itu. “Non konsep, estetik dan teknis,” katanya menjelaskan tentang Tiga Non. Sebuah karya seni, dengan konsep itu, lebih dari sekedar karya seni. “Sebagai cerminan spiritual.”
Adapun Didik Widiyanto menampilkan lukisan dengan warna dasar yang hampir seragam semua. Abu-abu. Ada simbol-simbol yang mirip dalam tiap karyanya. Bentuknya mirip mutasi wayang. Menurut Didik, simbol mirip wayang itu digunakan untuk mengekpresikan perasaannya dan tidak secara sengaja dibuat mirip wayang.
Dalam karyanya yang berjudul Mimpi Masa Lalu, misalnya, merupakan cerminan perasaannya pada karya rekan-rekannya. “Dulu dengan melihat karyanya, mungkin saya bisa menebak itu milik siapa,” kata dia. Tapi sekarang tidak lagi.
Perupa Alfairus Hazbi mengeksploitasi obyek di sekitarnya ke dalam karyanya. Taman Bunga dan Taman Bunga 2, misalnya. Dia gunakan material industri, semisal serbuk kayu, untuk membuatnya. Bentuknya abstrak dengan tekstur pada permukaan lukisan.
Perupa yang akrab dipanggil Boi itu menggunakan berbagai bahan untuk berkarya. Tak terpaku pada cat minyak saja, namun bolpen dan pensil. Obyek di sekitar dan bermacam bahan itu menjadi satu kebebasan untuk mengekspresikan karya.
ANANG ZAKARIA