Pameran yang berlangsung hingga 16 November mendatang itu diikuti oleh gabungan seniman-seniman generasi baru Jepang. Mereka mempertunjukkan lukisan, patung, instalasi, foto maupun video dari 11 seniman yang pada umumnya dibuat setelah tahun 1990-an.
Lihat salah satu karya Maywa Denki, sebuah grup seni yang dipimpin oleh Nobumichi Tosa. Mereka membuat karya instalasi bertemakan ikan. Sebuah karya surealis. Misalnya, Yumi-Na 1-go (Bowfish Ver.1). Senjata bidik mirip panah ini memiliki desain tulang ikan dengan ekor di ujungnya.
Atau, GM Na-Tate-Goto (Fish Harp), yang dibuat Maywa pada 1994. Sebuah alat musik harpa elektrik dengan dawai yang tersusun melingkar. Dawai tersebut membentuk badan ikan. Jika tombol power dimainkan, maka badan ikan akan berputar, sirip insang akan bergetar dan getaran itu akan mempengaruhi dawai yang pada akhirnya akan menghasilkan nada tertentu.
Maywa Denki fokus terhadap produk industri yang dikolaborasi dengan artistik. Mereka juga bersedia untuk memproduksi massal. Keputusan ini tak lain adalah kritik mereka terhadap seni konvensional yang selalu berpatokan pada orisinalitas. Tak heran jika mereka menyebut karya yang dihasilkan sebagai "produk". Studio yang mereka pakai adalah "pabrik" dan mereka menyebut dirinya sendiri sebagai "karyawan perusahaan".
Lain lagi dengan karya Miyuki Yokomizo. Ia membikin instalasi sabun yang dimasukkan dalam plastik memanjang. Plastik-plastik berisi sabun tersebut disusun membentuk sekat ruangan bening. Tak semuanya sabun asli memang. Banyak di antaranya adalah sabun palsu yang terbuat dari resin. Warna-warni sabun terlihat seperti permen. Miyuki memberi judul instalasinya Please Wash Away, yang dibuat pada 1997. Bagi Miyuki, sabun adalah lambang kemurnian. Tetapi proses industri sabun ini memiliki efek negatif bagi lingkungan.
Simak pula karya Tetsuya Nakamura yang membuat instalasi berjudul Lightning. Instalasi ini dibuat pada 1998 dengan tema yang diambil adalah kecepatan. Bentuk karya yang elegan dan aerodinamis itu nampak seperti pesawat atau mobil balap. Dari luar, penampilannya menunjukkan mesin sungguhan yang bergerak dengan kecepatan tinggi. Namun, kenyataannya kosong. Bentuk karya yang ramping dan kompak dapat dimaknai sebagai visualisasi dari gagasan utopis.
Sekilas, karya ini seperti dibuat dengan skala industri yaitu dengan mesin. Padahal tak demikian halnya. Nakamura justru membuatnya dengan tangan. Ia mempelajari teknik aplikasi lacquer, yaitu teknik yang paling dibutuhkan dalam kerajinan tradisional Jepang.
Tak hanya itu, karya film animasi atau foto tentang kehidupan Jepang juga dihadirkan dalam pameran yang merupakan kerja sama Komunitas Salihara dan Japan Foundation tersebut. Karya-karya itu memberikan kesempatan kepada para penikmat seni rupa untuk sejenak merasakan vitalitas seni Jepang saat ini.
ISMI WAHID