Achmad Zainal Fachris, salah satu pegiat Edhum, mengatakan, kisah Panji yang ditasbihkan sebagai seniman besar pada zaman dulu memiliki nilai sejarah tinggi pada kebudayaan di Pulau Jawa. Dan salah satu petunjuk keberadaan Raden Panji ini terdapat pada panil relief di sebuah makam Desa Gambyok. “Itu petunjuk penting yang ditelantarkan pemerintah,” kata Fachris.
Berbeda dengan situs yang menceritakan kisah Panji di Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur, yang terawat dengan baik, panil relief di Desa Gambyok justru dibiarkan teronggok begitu saja. Batu dengan panjang satu meter dan lebar 30 sentimeter itu menggambarkan sosok Raden Panji yang diikuti lima pengiringnya. Identifikasi itu terlihat dari atribut Panji yang mewah seperti gelang dan kalung, bertelanjang dada dengan penutup paha kain belipat, serta topi berbentuk blangkon tanpa tonjolan atau tekes. “Petunjuk itu paling kuat dibandingkan Candi Penataran,” Fachris menjelaskan.
Menurut pantauan Tempo, saat ini panil relief tersebut diperlakukan sebagai atribut atau hiasan makam sesepuh desa. Bahkan masyarakat cenderung mengabaikannya karena lebih tertarik pada makam Mbah Gedhong yang dikeramatkan.
Rendahnya perhatian pemerintah ini terbukti dengan sempat hilangnya situs tersebut akibat aksi pencurian. Beruntung aparat kepolisian dan perangkat desa berhasil mendapatkan kembali bongkahan batu andesit tersebut dari tangan pencuri untuk dikembalikan di tempat semula. “Batu itu hendak dijual ke Surabaya,” kata Supainah, 85, juru kunci tempat itu.
Sejumlah arkeolog mengatakan, Panji dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, yang membuatnya terkenal. Sifatnya sebagai seorang yang gagah, bijak, sederhana, mengasihi sesama, dan mengajarkan keselarasan dengan alam membuatnya bertemu dengan Putri Candrakirana, yang dianggap titisan Dewi Sri – dewi yang mengayomi kehidupan bercocok tanam.
HARI TRI WASONO