Lukisan itu adalah karya mutakhir Arie Smith, 94 tahun, perupa asal Belanda, yang sejak 1960 tinggal di Bali. Bertahun-tahun dia menyelami keunikan Bali dan memburu cahaya mistis dari pulau ini. Smith sempat mengajarkan teknik melukisnya, yang menekankan pantulan cahaya pada obyek, kepada sekelompok pemuda Desa Panestanan, Ubud--kemudian dikenal sebagai kelompok Young Artists.
Bersama karya 19 pelukis asing yang berkarya di Bali, karya Arie Smith kini dipamerkan di Hanna Gallery, Ubud, Bali, hingga 10 April mendatang. Selain karya Smith, dari angkatan masa lalu yang ikut ditampilkan karyanya adalah Rudolf Bonnet (Belanda), Walter Spies (Jerman), dan Hans Snell.
Bonnet dan Spies dikenang sebagai pionir modernisasi dunia seni rupa Bali. Kedatangan mereka pada 1927 telah mengubah wajah lukisan Bali, yang selama berabad-abad sebelumnya hanya melayani fungsi dan tujuan komunal-religius, menjadi seni individual. Mereka memperkenalkan teknik modern Barat dan kesadaran kreatif individual modern kepada para perupa pribumi Bali.
Adapun Hans Snell, meski tak sampai menularkan pengaruhnya kepada perupa lokal, kehadirannya ikut mengangkat Bali di kancah seni internasional. Menariknya, selain melukis dengan obyek perempuan dan tradisi Bali, Snell membuat karya-karya kontemporer, seperti terlihat dalam lukisan bertajuk Secret Corridor (1993) dalam pameran itu.
Menurut kurator pameran Arif B. Prasetyo, kiprah para perupa mancanegara itu telah membedakan perkembangan Bali dibandingkan dengan daerah lainnya, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Para perupa asing itu menciptakan karya seni yang terilhami Bali, dan pada gilirannya, karya mereka turut berperan penting dalam membentuk citra Bali.
Berbagai citra tentang Bali yang molek bagaikan surga menjadi menu umum dalam literatur perjalanan, buku seni rupa, dan brosur wisata sepanjang 1920-an hingga 1930-an. Kala itu Bali adalah Firdaus bagi pelancong mancanegara, termasuk kalangan seniman yang melarikan diri dari kehidupan modern Barat--yang dirasakannya gersang.
Dengan mata, pikiran, dan perasaan terpesona oleh Bali beserta segenap citra mitologisnya, para perupa mancanegara berbondong-bondong datang ke Bali dan berkarya. Pada umumnya, mereka memaknai Bali sebagai sumber kekayaan pesona visual yang unik. Panorama alam Bali nan permai dan mistis serta keunikan manusia dan budaya tradisional Bali merupakan bagian dari citra Bali yang amat kondang di seluruh penjuru dunia, dan menjadi subyek favorit dari karya para perupa mancanegara yang datang ke Bali.
"Tapi citra yang molek itu sekarang sudah tidak mendominasi," kata Arif. Citra tersebut hanya terlihat jelas pada karya Rudolf Bonnet, Arie Smith, dan Hans Snell, yang notabene merupakan perupa generasi lama. Adapun perupa generasi baru, citra Bali hanya menonjol pada karya Paul Moran dan Shan F. Clergue. Paul Moran menjelajahi kemagisan alam dan kemolekan manusia Bali, khususnya tubuh perempuan. Penggambaran figur gadis Bali dalam lukisan Clergue menyiratkan pandangan nostalgia tentang Bali yang murni, alami, dan mistis.
Pada sejumlah perupa, eksotisme spiritual kini tampil menggantikan eksotisme alam-budaya Bali sebagai subyek eksplorasi kreatifnya. Mereka menjelajahi dimensi tak kasatmata di balik fenomena alam dan budaya Bali. Perupa Marck Jurt, Patrick Okorokoff, dan Pieter Deiman mengekspresikan daya-daya spiritual yang memberi karisma pada Bali.
Deiman, yang sudah 22 tahun tinggal di Bali, mengaku selalu saja terpesona oleh suasana saat dilakukan upacara ritual di pura yang ada di depan rumahnya. Daya itu lalu dimunculkannya pada lukisan-lukisan bergaya abstrak dengan warna-warna yang menyala. "Padahal saya sendiri bukan orang yang beragama," kata perupa kelahiran Belanda pada 1954 itu.
Menurut kurator Arif, sebagian besar perupa yang terlibat dalam pameran ini cenderung menghayati Bali sebagai sebentuk sanctuary, zona istimewa yang auranya mampu mengintensifkan pencarian kreatif di jalur soliter mereka. Para perupa bermukim dan berkarya di pulau ini, tapi tetap menekuni tema-tema pribadi yang tak merujuk langsung pada geliat rona kehidupan di Bali.
“Spirit kreatif mereka dipengaruhi oleh alam dan budaya Bali yang artistik, tapi karya mereka bukan semata-mata rekaman visual tentang Bali dari mata orang asing yang terpesona,” Arif menjelaskan.
Selain itu, sejumlah perupa dalam pameran ini menampilkan karya yang tak selalu menyuguhkan pesona Bali. Perupa Piet Nuyttens dari Swiss, misalnya, mengabadikan memori tentang kehidupan rakyat Papua. Lalu medium yang digunakan bukan hanya lukisan, tapi juga patung, seperti pada karya perupa Keiji Ujie dan Tineke Vermeer.
Pengamat seni Pande Suteja Neka menyatakan pameran ini merupakan kesempatan bagi seniman Bali untuk melihat karya orang luar dalam memandang Pulau Dewata. “Kalau kita, kan, selalu melihat dari dalam karena terlibat langsung dalam berbagai kegiatan di Bali, mungkin saja mereka lebih obyektif,” ujarnya. “Jadi pelajaran bisa diperoleh dari mana-mana tanpa harus berinteraksi langsung.”
Suteja juga berharap, nantinya akan muncul pelukis-pelukis asing yang bisa mempengaruhi seni rupa Bali sebagaimana telah terjadi pada masa Rudolf Bonnet, Walter Spies, dan Arie Smith.
Hanya, tutur Suteja, kemungkinan terulangnya fenomena itu semakin kecil karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bali sendiri. Selain itu, para pelukis asing cenderung makin individualistis dan hanya datang untuk menikmati serta mencari inspirasi dari Bali.
l ROFIQI HASAN