Pameran tersebut mengangkat permasalahan dunia maya yang telah mengalami perkembangan sedemikian pesatnya. Dunia digambarkan terdiri dari seperangkat komputer beserta situs-situs yang selalu menghipnotis manusia untuk menjelajahinya saban hari.
Dalam katalog pameran, perupa Ham Ngien Beng menyatakan, bagi sebagian besar orang, berkutat di dunia maya sudah menjadi konsumsi. “Tiada hari tanpa online menjadi gaya hidup budaya kontemporer kita,” kata Ham.
Fenomena itulah yang kemudian dituangkan ketiga seniman tersebut ke dalam karya-karyanya. Karya Ham yang berjudul Update Profil # 1 Hingga # 4 secara konseptual lebih menonjolkan wajah-wajah dan teks-teks untuk menyampaikan sebuah pesan kepada masyarakat tentang dampak sosial yang dapat ditimbulkan oleh situs-situs dari Internet pada umumnya. “Seperti sebuah fenomena yang sering terjadi di dunia maya, bahwa apa dan siapa jati diri mereka kita tidak pernah benar-benar tahu,” Ham menerangkan.
Senada dengan pendapat Ham di atas, Kokok Hari Subandi melihat fenomena Facebook menjadikan hubungan dari sekelompok masyarakat (komunitas yang terpisah) oleh jarak dan waktu dapat terhubung kembali. “Lewat Facebook itulah manusia merencanakan untuk saling bertemu,” kata Hari.
Hari memberikan konsep karyanya Reuni Badut-badut, yang mengeksplorasi tubuhnya sebagai media ekspresi. Figur gemuk tubuhnya ditampilkan sedemikian rupa, dengan riasan coreng-moreng pada wajah seperti layaknya badut, sebagai sebuah identitas kelompok yang menebar tawa dengan mulut tertawa lebar.
Adapun karya Atie Krisna dengan judul "Akun Aku" menangkap fenomena dunia maya yang terjadi belakangan ini sebagai ritual dalam membangun pertemanan dengan cara virtual. Menurut Atie, begitu banyak cara praktis dalam menemukan kembali saudara atau teman semasa kecil, berbagi cerita serta ruang untuk menebar narcissism. “Manusia mengembangkan pertemanannya secara virtual, yang juga bisa berguna mendukung pertemanan yang konvensional.”
Herry Fitriadi