TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat film Indonesia hari ini merayakan Hari Film Nasional ke-74. Ketua Komite Festival Film Indonesia atau FFI Tahun 2021-2023 Reza Rahadian berharap siapa pun yang akan menggantikannya bisa membawa kebaikan bagi lembaga perfilman Indonesia itu.
"Saya berharap, siapa pun yang nantinya yang memimpin FFI bisa menjaga marwah dan FFI bisa netral, tidak ada kepentingan kelompok apa pun dan terbuka untuk siapa pun," kata Reza Rahadian saat ditemui di Rumah Produksi Come and See Pictures di kawasan Jakarta Selatan, Rabu, 27 Maret 2024.
Sejarah Hari Film Nasional
Mengutip laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), peringatan Hari Film Nasional atau HFN diresmikan oleh B.J. Habibie pada 30 Maret 1999 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional yang ditetapkan.
Dalam Keppres itu disebutkan pula bahwa peringatan Hari Film Nasional bukan hari libur nasional. HFN dicanangkan setiap 30 Maret, berangkat dari peristiwa yang terjadi 74 tahun lalu. Hari itu dimulainya pengambilan gambar film Darah dan Doa (1950) yang disutradarai Usmar Ismail.
Pada 11 Oktober 1962, konferensi Dewan Film Nasional dengan Organisasi Perfilman menetapkan 30 Maret menjadi Hari Film Nasional. Sejak saat itu, 30 Maret dianggap sebagai Hari Film Nasional. Usmar Ismail, seorang pendiri Perfini dan Djamaludin Malik pendiri Persari juga diangkat sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Penetapan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional bukanlah pilihan tunggal. 19 September juga pernah diusulkan lantaran merupakan tanggal peliputan Rapat Raksasa Lapangan Ikada Presiden Soekarno pada 1945. Keberanian juru kamera Berita Film Indonesia merekam peristiwa bersejarah itu sangat berbahaya sehingga patut dikenang.
Pada 1964 pegiat perfilman komunis juga pernah mengusulkan Hari Film Nasional didasarkan dari tanggal pendirian Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Aksi tersebut berhasil menghentikan pemutaran film-film Amerika Serikat di Indonesia. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30SPKI) usulan tersebut lenyap.
Pada 1980-an, ketika situasi politik dan kondisi perfilman telah stabil, gagasan mengenai Hari Film Nasional diangkat kembali. Dewan Film Nasional, kelompok pemikir Menteri Penerangan, kembali mewacanakan 30 Maret untuk dijadikan keputusan bersama. Tapi usaha tersebut kembali gagal karena PFN mengusulkan 19 September dan 6 Oktober.
Tanggal 6 Oktober merupakan tanggal penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh penguasa Jepang kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi BFI dan PFN. Usulan ini langsung ditolak, karena tidak mengandung idealisme atau nilai perjuangan.
Pada awal 1990 Dewan Film Nasional memutuskan menjaring pendapat soal Hari Film Nasional. Anggota DFN, Soemardjono, ditunjuk memimpin pertemuan sejumlah orang yang pernah terlibat dalam sejarah film di gedung Badan Sensor Film (BSF). Salah satu peserta pertemuan, Alwi Dahlan memberikan dasar pertimbangan yang akhirnya diterima.
Menurutnya kedua tanggal itu penting, namun 19 September merupakan peristiwa jurnalistik. Sedangkan Hari Film Nasional adalah untuk memperingati pembuatan film cerita.
Pilihan Editor: Hari Film Nasional, Prilly Latuconsina Punya Harapan Besar untuk Sineas Muda