TEMPO.CO, Jakarta - Dipa Nusantara Aidit atau dikenal sebagai DN Aidit, lahir pada hari ini 98 tahun silam di Pulau Bangka, 30 Juli 1923. Ia dikenal sebagai seorang anggota Komunis Internasional (Komintern) dan pemimpin Ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia (CC-PKI) pada 1954.
Aidit lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya, Abdullah Aidit, seorang pemimpin gerakan pemuda di Belitung untuk melawan Belanda. Setelah kemerdekaan, Abdullah pernah menjadi anggota DPR sementara mewakili rakyat Belitung dan mendirikan perkumpulan keagamaan Nurul Islam yang berorientasi kepada Muhammadiyah.
Melihat latar belakang ayahnya, sosok bernama asli Achmad Aidit ini sudah khatam mengaji sejak kecil. Di masa kecilnya, Aidit juga menempuh pendidikan Belanda dari ayahnya.
Mengutip dari laman Perpustakaan Nasional, menjelang dewasa, Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit dan memutuskan meninggalkan Belitung untuk pergi ke Jakarta. Pada 1940, Aidit mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat.
Setelah itu, ia menempuh pendidikan di Sekolah Dagang (Handelsschool). Aidit belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Ketika belajar teori politik Marxis ini, Aidit bertemu dengan tokoh-tokoh politik Indonesia seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin.
Meskipun Aidit seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional, ia mengikuti paham Marhaenisme Soekarno. Aidit membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan. Sebagai dukungannya terhadap Soekarno, ia berhasil menjadi menjadi Sekretaris Jenderal PKI hingga Ketua.
Di bawah kepemimpinannya PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Lekra.
Berkat program programnya untuk rakyat kecil, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan pada kampanye Pemilu 1955. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer.
Pada tahun 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan.
Pada tanggal 30 September 1965, terjadi lah penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang kapten. Tragedi ini dilakukan suatu kelompok militer pimpinan Letnan Kolonel Untung. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S PKI.
Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa PKI dan Aidit sebagai pimpinan partai. Namun tuduhan tersebut tidak terbukti, karena ketika Aidit diburu oleh tentara, ia meninggal dalam pengejaran tersebut ketika melarikan diri ke Yogyakarta.
Penangkapan serta kematian Aidit terdapat beberapa versi. Ada versi yang menyebutkan, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian Aidit dibunuh di dekat sebuah sumur. Versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Aidit dinyatakan meninggal pada 22 November 1965, hingga sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
WILDA HASANAH
Baca juga:
Geger Baliho Enak Zaman PKI Kades di Sragen, Bupati Minta Pemeriksaan Kejiwaan