TEMPO.CO, Bandung -Politikus dan artis Rieke Diah Pitaloka naik panggung lagi. Dia ikut tampil dalam pementasan tiga monolog berjudul Wanodja Soenda atau perempuan Sunda di Ballroom Hotel Savoy Homann Bandung, Rabu, 29 Januari 2020. “Monolog terakhir waktu teater Perempuan Menuntut Malam tahun 2008 sebelum jadi anggota dewan,” katanya kepada Tempo.
Pada pementasan bersama Maudy Koesnaedi dan Sita Nursanti anggota grup vokal Rida Sita Dewi itu Rieke memerankan Raden Emma Poeradiredja. Tokoh wanita Sunda kelahiran Bandung 1902 yang wafat pada 1976 itu menurutnya memberi kekuatan baru untuk karirnya.
Rieke mengaku sudah sangat lelah di dunia politik. “Jujur aja saya lagi capek banget ya banyak hal yang harus diperjuangkan tapi juga mau bersuara lantang itu nggak mudah. Politik kan tidak seperti terlihat di permukaan,” ujarnya setelah gladi resik.
Pertemuannya dengan sosok Emma lewat naskah monolog menepiskan segala keraguan dan galaunya. “Akhirnya saya nggak boleh berhenti terus maju bertarung untuk keputusan-keputusan yang penting buat rakyat,” kata perempuan kelahiran Garut berusia 46 tahun itu.
Setelah pementasan monolog ini dia belum tahu apakah akan berteater lagi. Rieke mengaku sempat tidak ikut latihan sesuai jadwal. Menjelang pementasan teater, dia mengejar untuk membaca naskah secara cepat. “Kalau berkesenian kan urusan rasa, kalau rasanya sudah terkait kita bisa lebih mudah,” ujarnya.Rieke Dyah Pitaloka mengisahkan kiprah tokoh wanita Sunda Emma Poeradiredja dalam Monolog Wanodja Soenda di Bandung, Jawa Barat, Selasa (28/1). Pentas monolog tokoh perubahan di Jawa Barat digagas oleh The Lodge Foundation yang ingin mengangkat semangat perlawanan wanita Sunda di bidang politik, pendidikan, dan seni budaya di era Hindia Belanda, yaitu Raden Dewi Sartika, Lasminingrat, dan Emma Poeradiredja. TEMPO/Prima Mulia
Soal tokoh yang diperankannya, Rieke melihat ada beberapa kesamaan dengan Emma. “Keras kepala, nggak mau menyerah dan selalu tertantang,” kata dia. Jalan hidupnya pun kurang lebih sama di jalur politik. Emma menurutnya mendesak keterwakilan perempuan di dewan rakyat dan perempuan bisa punya hak pilih ketika zaman pra-Kemerdekaan.
Beberapa hal buat perempuan sekarang pun kata Rieke tidak mudah. “Politik dianggap dunia lelaki, sementara urusan perempuan tidak jauh dari sumur, dapur, kasur,” ujarnya. Melihat Emma yang mengambil pilihan politik garis keras, Rieke mengatakan tantangan besarnya sekarang adalah bagaimana Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat. “Tidak anti asing tapi tidak diintervensi dan bekerja untuk bangsa lain.”
Dia pun mengingat nilai perjuangan Emma lainnya. “Kita mau percaya kekuatan bangsa sendiri atau mustahil. Buat Emma tidak ada istilah mustahil," kata Rieke Diah Pitaloka.