TEMPO.CO, Sleman - Tak diakuinya keberhasilan Clara Sumarwati sampai ke puncak Everest ada dugaan persoalan bias gender karena dia perempuan. Pada kurun 1990-an, pendaki Indonesia didominasi laki-laki, tetapi tak semua mampu bertengger di puncak. Kemudian datang Clara, pendaki perempuan yang berumur 29 tahun saat itu yang berhasil.
“Itu bikin pendaki laki-laki gemes. Mereka tak ingin dikalahkan pendaki perempuan,” kata penyusun buku Indonesia Menjejak Everest, Furqon Ulya Himawan dalam acara Ulang Tahun Pendakian Everest dan Peluncuran Buku di Diraja Café, Sleman, Kamis, 26 September 2019 malam lalu.
Persoalan lainnya, nama Clara hilang dari buku berjudul Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan yang diterbitkan Tim Ekspedisi Mount Everest Indonesia 1997. Buku 1C yang diterbitkan dua kali pada 1998 dan 2005 itu mengisahkan keberhasilan tim ekspedisi itu yang mencapai puncak Everest melalui jalur selatan (South Col), yaitu prajurit Kopassus, Asmujiono dan Misirin. Juga mencantumkan nama-nama pendaki sedunia yang sukses mencapai puncak Everest pada 1953-1997.
“Nama Clara tidak ada di sana. Padahal salah satu sumber buku itu adalah buku yang mencantumkan nama Clara,” kata Furqon.
Sementara Misirin yang disebut pendaki Rusia, Anatoli Boukreev hanya berada 30 meter di bawah puncak justru disebut sebagai pendaki yang sampai puncak di buku itu. Kesaksian Anatoli yang menjadi pemandu dan pelatih Tim Ekspedisi Everest 1997 itu ditulis dalam buku berjudul The Climb: Tragic Ambitions on Everest (1999).
Dalam The Himalayan Database, nama Asmujiono tercantum sebagai pendaki ke-848. Sedangkan nama Misirin meskipun ada di sana, tetapi tidak mempunyai nomer dan ditandai dengan huruf (u).
“The (u) means that his (Misirin) ascent is not recognized,” kata Furqon saat dihubungi Tempo, Sabtu, 28 September 2019. Jawaban tersebut adalah hasil konfirmasi langsung Furqon kepada Richard Salibusry, si penjaga gawang The Himalayan Database.
Buku yang disusun Furqon juga mengulas bagaimana pemberitaan sejumlah media massa saat itu yang mengabaikan kode etik jurnalistik. Apalagi UU Pers baru lahir pada 1999.
“Beritanya tanpa konfirmasi. Itu berakibat fatal,” kata Furqon.
Dia mencontohkan, ada media yang menyebut pendaki Jerman, Thomas Kokta sempat bertemu Clara dalam pendakian. Kokta menyangsikannya bisa mencapai puncak karena kondisi fisik Clara tampak kurang sehat pada ketinggian 7.000 mdpl pada 25 September 1996. Kokta menduga Clara hanya mencapai puncak semu, bukan puncak tertinggi.
Namun ketika Ambarwati mengkonfirmasi kepada Kokta melalui email pada 2010, Kokta membantah pernah mengatakan hal itu. Dia juga menyatakan tak pernah diwawancarai jurnalis dari media di Indonesia.
“Pernyataan Kokta yang dikutip media massa di Indonesia dengan sendirinya terbantahkan,” kata Furqon.
Sayangnya, sejumlah hak jawab yang dilontarkan Clara tak direspon media massa dengan baik saat itu. Padahal secara internasional, Clara diakui. Seperti pemberian selamat dan piagam Nepal Mountainneering Association (NMA) dari Presiden Nepal Dawa Norbu Sherap tertanggal 11 Oktober 1996. Sertifikat penghargaan dari Mountaineering Association of The People Republic China tertanggal 17 Oktober 1996. Juga pengakuan dari Menteri Olahraga dan Kebudayaan Nepal, Bal Bahadur pada Pasang Lhamu Mountaineering Foundation tertanggal 10 Oktober 1996. Sedangkan dari Indonesia, Clara mendapat piagam kehormatan Bintang Nararya dari Presiden Soeharto tertanggal 31 Oktober 1996. Dan melalui buku yang disusunnya, Furqon memberikan hak jawab itu berdasarkan hasil wawancara dengan Clara.
Furqon membantah, buku yang disusunnya merupakan buku tandingan dari buku Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan. Dia hanya ingin mengembalikan sejarah yang sebenarnya. Tak perlu lagi memperdebatkan siapa yang pertama kali tiba di puncak Everest dari Indonesia, pendaki 1996 atau 1997.
“Justru saling melengkapi. Satunya dari jalur utara, lainnya jalur selatan. Jadi enggak perlu ada penghapusan nama sebagai sesama saudara,” kata Furqon penuh harap.
PITO AGUSTIN RUDIANA