TEMPO.CO, Jakarta - Banyaknya catatan tentang nusantara yang ditulis para petualang asing melatari penyelenggaraan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) tahun ini mengusung tema Traveling & Diary. Tema tersebut diambil untuk merayakan catatan harian perjalanan para pelawat, peziarah dari India, Eropa ke Nusantara.
"Semua ini agar generasi muda dan Indonesia dapat mengenal proses menjadi Indonesia sebetulnya kultural mulai dari Nusantara," ujar BWCF Romo Mudji Sutrisno, salah satu penggagas Borobudur Writers and Cultural Festival di Galeri Cemara, Jakarta Pusat, Selasa 13 November 2018.
Menurut Mudji Sutrisno ada ratusan bahkan ribuan musafir asing yang pernah singgah di Nusantara. Banyak yang merekam perjalanan tersebut dalam surat atau catatan-catatan harian. Dalam perjalanannya, para pengembara Budhis, peziarah-peziarah Hindu, pengelana Muslim sampai petualang-petualang Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda melintasi Jawa, Sumatera, Kalimantan Sumatra. Sulawesi, hingga Papua. Jenis tulisannya pun beragam dari yang bersifat subjektif, ada yang dilengkapi data-data objektif dan sangat lengkap.
Sebuah catatan perjalanan menurut Mudji tak melulu berupa buku, surat, dan manuskrip. Kadang ada juga catatan perjalanan berbentuk sketsa seperti yang dilakukan W.O.J Nieuwenkamp yang membuat sketsa soal reruntuhan Kota Denpasar usai peristiwa penghancuran Kerajaan Badung dan Tabanan oleh tentara Belanda pada 1906.
Sketsa langka mengenai bangunan dan suasanan di Batavia pada 1744 dibuat seorang tentara Jerman, Johann Wolfgang Heydt. Gambar-gambarnya lantas menjadi penting lantaran dibuat empat tahun setelah terjadi pembantaian warga CIna di Batavia.
Tema Traveling&Diary merupakan gagasan tema untuk membaca kembali kitab-kitab para pelawat asing tersebut untuk mengetahui bagaimana mereka dan masyarakat Indonesia kini membaca Nusantara.
Mudji melanjutkan, masih banyak celah yang bisa ditelusuri dari catatan-catatan para pelawat itu untuk menguak kemungkinan soal peristiwa masa lalu dan pengaruhnya saat ini. "Kita bisa merajut nilai terbaik dari lokalitas, kesukuan, keagamaan, dan menjadi ke-Indonesiaan (dari catatan-catatan mereka)."
Traveling&Diary akan dimulai dengan mengulas catatan harian I Tsing, pengelana dari Cina abad ke-7. I Tsing mempelajari Budha di Nalanda India dan sempat mampir ke Nusantara untuk mempelajari bahasa Sansekerta dan sempat menetap di Sumatera untuk menerjemahkan kitab yang ia dapat dari India.
Sejumlah agenda kegiatan yang akan hadir dalam gelaran BWCF 2018 di antaranya menghadirkan empat penulis residensi Komite Buku Nasional seperti Martin Aleida, Agustinus Wibowo, Cok Sawitri, dan Faisal Oddang. Selain itu, BWCF 2018 pertama kalinya akan menghadirkan workshop dongeng anak yang menghadirkan Murti Bunanta, penulis dan praktisi dongeng anak.
Diskusi mengenai film turut dihadirkan dengan pemutaran empat buah film bertema Islam dan pluralisme karya sineas Nurman Hakim.
Di sisi pertunjukan seni, BWCF 2018 menyajikan seni pertunjukan bertema migrasi. Koreografer dan teaterawan seperti Ery Mefri, Bimo Wiwohatmo, Melati, Suryodarmo, Katsura Kan, dan beberapa nama lainnya akan menafsirkan hal-hal soal pengembaraan yang karyanya akan dipentaskan di panggung Aksobhya, Borobudur. "Kami membebaskan mereka menafsirkan migrasi. Migrasi bukan hanya sebatas migrasi fisik tapi juga rohani, sebuah pelawatan jiwa," ujar Seno Joko Suyono, salah satu penggagas BWCF 2018.
Baca: Menjejaki Relief dan Meditasi di Borobudur Writers Festival
Tema migrasi dalam sesi pertunjukan seni BWCF 2018 ini dianggap penting diangkat karena sedang terjadi di berbagai negara misalnya Eropa yang dilanda migrasi besar-besaran dari pengungsi Suriah yang berdampak pada hadirnya berbagai problem sosial ekonomi. Demikian halnya dnegan sejarah Nusantara yang tak luput dari isu migrasi itu sendiri.