TEMPO.CO, Jakarta - Meruaknya kabar novel Bumi Manusia akan difilmkan oleh Hanung Bramantyo rupanya mengusik beberapa pihak yang bisa dibilang ‘penggemar garis keras’ Bumi Manusia dan penulisnya, Pramudya Ananta Toer. Pro kontra hadir dalam hitungan menit tatkala kabar itu diwartakan ke publik.
Rencana mengangkat Bumi Manusia ke layar lebar sesungguhnya bukan hal baru. Dan nama Hanung Bramantyo bukanlah satu-satunya sutradara yang ingin mengangkat kisah Minke, Nyai Ontosoroh dalam medium film. Setidaknya hal ini sudah pernah terdengar sejak awal 2000-an. Masa di mana Pramudya Ananta Toer masih ada.
Sutradara Hanung Bramantyo saat dilokasi syuting pembuatan film yang berjudul Hijab dikawasan wisata Kotatua, 13 Oktober 2014. TEMPO/Nurdiansah
Setidaknya kabar baik itu sempat dicatat Tempo, pada 2 September 2004. Siang itu wajah Pram bercahaya. Di rumah lamanya di Utan Kayu, Jakarta Timur, Pram baru saja menandatangani kontrak dengan PT Elang Perkasa yang akan memfilmkan Bumi Manusia. ”Saya bangga karena ada orang Indonesia yang mau memfilmkan novel saya,” katanya.
Sebelum itu Pram sempat berat kalau melepas karyanya difilmkan pihak asing. Nama seperti Oliver Stone, sutradara film JFK, El Commandante, Platoon, Nixon, Wall Street, dan banyak lagi, sempat mengajukan diri untuk membeli hak memfilmkan Bumi Manusia sekitar US$ 1,5 juta (sekitar Rp 15 miliar). Hal tersebut dituturkan anak keempat Pramudya, Astuti Ananta Toer.
Pram menolak Oliver Stone dan para sineas asing untuk memfilmkan karyanya. Adalah Hatoek Soebroto (kini sudah almarhum) bos Elang Perkasa yang beruntung mengantongi hak itu. ”Sesuai kontrak dengan Pak Pram, saya memperoleh hak untuk membuat film dan sinetron novel Bumi Manusia selama lima tahun,” kata Hatoek, berdasarkan arsip Tempo.
Saat itu Hatoek enggan menyebut angka persisnya. Tapi ia mengaku mengeluarkan miliaran rupiah.
Sejak kontrak resmi diteken, Hatoek sudah tahu penggarapan film Bumi Manusia akan memakan biaya yang sangat besar. Ia pun lantas menggandeng bos Sinemart, Leo Sutanto. Awal 2006, proses produksi Bumi Manusia dimulai.
Tapi kabar soal pembuatan film Bumi Manusia perlahan mengabur. Beberapa nama sutradara berganti, muncul tenggelam dalam pemberitaan.
Kabar pertama yang pernah muncul, Hatoek sempat mengajak Mira Lesmana dan Riri Riza untuk menggarap proyek besar ini. Namun seiring waktu, nama Garin Nugroho muncul menggantikan keduanya. Sempat terdengar kabar juga kalau Deddy Mizwar sempat turut terlibat sebagai produser pelaksana.
Jujur Prananto. TEMPO/Prima Mulia
Hal tersebut disampaikan Jujur Prananto. Pihak yang ditunjuk Leo Sutanto untuk menuliskan naskah Bumi Manusia sejak awal proyek ini dimulai. “Saat itu belum diketahui siapa sutradaranya, tak lama Pak Leo bilang kalau Mira dan Riri. Saya lanjut menuliskan scenario tapi setelah itu lama tak muncul kabar lagi,” tutur Jujur Prananto kepada Tempo, Kamis 31 Mei 2018.
Setelah itu menurut Jujur, kabar Garin akan menyutradarai film Bumi Manusia muncul. Mengetahui itu, Jujur sempat ingin mundur dari peran penulis skenario. Lantaran dia tahu naskahnya tak akan terpakai oleh seorang Garin Nugroho. “Saat itu saya bilang ke Pak Leo kalau Garin yang bikin (film), skenario saya enggak akan terpakai. Apakah Garin kali ini pengen bikin film berdasarkan skenario?” Tanya Jujur kepada Leo.
Lantas benar saja, saat pertemuan berlangsung rupanya Garin sudah punya gagasan lain soal Bumi Manusia. Akhirnya Jujur mundur dan posisinya digantikan Armantono, sosok yang telah cukup lama bekerja dalam proyek film Garin.
Garin Nugroho Kandidat Wali Kota Yogya Independen
Kabar penggarapan film pun surut lagi. Rupanya Garin tak jadi melanjutkan proyek tersebut. Hal tersebut dibenarkan Garin. Menurutnya persiapan kala itu sudah mencapai 80 persen. Namun salah satu produser atau pemodal mensyaratkan agar ada elemen penambahan cerita. Dalam pandangan Garin, hal tersebut tentunya bakal membuat Bumi Manusia yang ia garap akan memiliki perspektif berbeda dalam hubungannya dengan novel. “Makna kemanusiaan akan bergeser dan hilang, saya menolak. Akibatnya proyek mandeg,” kata Garin, Kamis 31 Mei 2018.
Setelah lepas dari Garin, menurut Jujur proyek Bumi Manusia sempat akan diproduseri Deddy Mizwar dan nama Hanung Bramantyo pun sempat muncul saat itu. "Pertama kali saya ditawari Film ini ketika usai Ayat-Ayat Cinta dirilis. Yang menawari saya Pak Hatoek dan Pak Dedi Mizwar. Saya bilang kepada mereka, ini akan jadi perjuangan saya. Saya rela gak dibayar buat ini he-he-he. Tapi sayangnya, entah kenapa, film itu batal," terang Hanung Bramantyo.
Sutradara musikal Laskar Pelangi Riri Riza bersama penulis musik dan lirik Mira Lesmana (kanan) saat menghadiri konfrensi pers Musikal Laskar Pelangi Goes To Yogya di Pisa Mahakam, blok M, Jakarta, Kamis (22/3). ANTARA/Teresia May
Tahun 2009, Mira Lesmana menghubungi Jujur. Ia mengatakan ada dua naskah skenario yang diberikan Hatoek, salah satunya naskah yang sempat digarap Jujur. Proses pengolahan naskah, pembacaan ulang berlangsung hingga 2010. Berikut proses casting.
Lagi-lagi, setelah beberapa tahun proyek tersebut belum rampung juga. Menurut Jujur, Mira Lesmana kewalahan lantaran tak ada investor yang berani karena nama Pramudya Ananta Toer. Sedangkan ini proyek mahabesar yang butuh dana tak sedikit.
Akhirnya hak memfilmkan Bumi Manusia pun usai. Pada tahun 2015 Hatoek Soebroto wafat.
Setelah itu, Jujur sempat menerima panggilan dari sutradara Anggy Umbara untuk terlibat dalam penggarapan Bumi Manusia. “Dia sempat telpon dan sempat mengajak saya untuk terlibat, tapi enggak jadi.”
Anggy Umbara Bagikan Tips dan Trik Bikin Film Pendek
Awal 2018, Naveen (pemilik Falcon Pictures) melibatkan Jujur sebagai pembahas naskah Bumi Manusia yang disutradarai Hanung Bramantyo. Skenarionya kali ini ditulis oleh Salman Aristo.
Bumi Manusia novel berlatar belakang sejarah kebangkitan nasional. Buku ini merupakan jilid pertama dari empat roman (tetralogi) yang ditulis Pram semasa ditahan di Pulau Buru, Maluku. Novel yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa itu sarat kisah menggetarkan. Kisah cinta antara Minke dan Annelies, kisah carut-marut perpolitikan saat itu, perlawanan kaum muda progresif revolusioner terhadap kaum tua yang kadung menikmati hukum feodal dan otoriter, serta perlawanan seorang Nyai terhadap kesewenang-wenangan kolonial.
AISHA | ARSIP TEMPO
Catatan koreksi: tulisan ini telah mengalami penambahan konfirmasi dari Hanung Bramantyo pada Senin, 4 Juni 2018