TEMPO.CO, Jakarta -Hari itu tidak seperti biasanya. Sastrawan Danarto biasanya pergi ke bank menyewa ojek langganannya. Tapi, kemarin, kebetulan si tukang ojek sedang narik. Ia pun naik angkutan umum. Sepulang dari bank, biasanya dia dibantu petugas satpam menyeberang jalan. "Ya, itulah, Allah yang mengatur. Biasanya dia ngojek dan diseberangkan oleh (petugas) satpam bank. Ini kok, ya enggak," ujar Uki Bayu Sejati, sastrawan dan kawan Danarto, kepada Tempo, kemarin.
Baca: Danarto, Guru Bagi Penulis Muda
Danarto ditabrak oleh seorang pemuda yang juga tetangganya sendiri di daerah Kedaung, Ciputat. Seniman kelahiran Sragen, 27 Juni 1940, itu mengalami luka serius. Terjadi retak di kepala dan menyebabkan kesadarannya menurun. Ia sempat dirawat di RS Syarif Hidayatullah, lalu dirujuk ke RS Fatmawati hingga meninggal pada Selasa, 10 April lalu.
Uki mendampingi Danarto sejak di RS Syarif Hidayatullah hingga jenazah diberangkatkan ke Sragen. Uki mengetahui kabar kecelakaan Danarto dari laman Facebook penyair Semarang, Handry T.M. Tanpa ragu, ia pun menyebarkan berita itu dan berangkat ke rumah sakit. Salah seorang dosen UIN membantu perawatan Danarto di RS Syarif Hidayatullah.
Uki setidaknya sebulan sekali sering bertandang ke kontrakan Danarto yang penuh dengan buku. Sebulan lalu, Danarto baru saja melakukan operasi katarak. "Kata teman-teman, kalau habis operasi bisa terang. Tapi ini, kok tidak. Dia bilang, mungkin harus operasi lagi," ujar Uki, menirukan Danarto.
Uki juga bercerita, Emha Ainun Nadjib dan komunitas sastrawan di Yogyakarta mau membuat buku tentang penyair Umbu Landu Paranggi, sang Presiden Malioboro. Mereka menginginkan sampul buku itu hanya bisa dibuat oleh Danarto. "Kata mereka, hanya Mas Dan yang bisa bikin gambar cover-nya," ujar Uki.
Uki mengenang Danarto sebagai kawan yang tekun dan bersahaja. Danarto hobi makan enak. "Kesukaannya mi di seberang Jalan Kalipasir (Cikini, Jakarta) atau gule kambing di pertigaan Situ Gintung (Ciputat)."
Danarto boleh dikatakan sebagai seniman yang komplet. Ia seorang sastrawan dengan karya-karya yang diakui seantero Nusantara. Beberapa karyanya bernuansa sufistik mengangkat jagat kebatinan Jawa yang disebut tidak biasa. Kumpulan cerpen Godlob (1975) merupakan salah satu karya yang dikenal hingga diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling. Karya lainnya diterjemahkan dalam bahasa Belanda dan Prancis.
Ia pernah mendapatkan sejumlah penghargaan atas karya sastranya, yakni Penghargaan Sastra pada 1982 oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Hadiah Buku Utama dari Yayasan Buku Utama. Ia pun meraih penghargaan Achmad Bakrie Award atas dedikasi dan ide keseniannya.
Bagi banyak penulis, Danarto boleh dikatakan sebagai guru yang sangat mendukung. Hal itu diakui banyak penulis, seperti Leila S. Chudori, Radhar Panca Dahana, dan Asma Nadia. Radhar bahkan sempat punya kenangan indah, diberi sejumlah uang hasil penjualan lukisan Danarto. Saat itu malam Lebaran beberapa tahun lalu. Radhar sedang tak ada uang dan membawa antaran rendang karena Danarto sendirian. Mereka ngobrol sampai larut malam. Sarung Danarto kerap melorot. Ketika Radhar hendak pulang, Danarto memberi sebuah amplop tebal. "Aku punya nazar, kalau lukisanku laku, ada bagianmu," ucap Radhar,menirukan perkataan Danartokepadanya saat itu.
Di mata Melani Budianta, Danarto adalah sahabat yang baik, tekun, bersahaja, humanis, humoris, dan melampaui segala sekat kemanusiaan. "Suatu ketika dia pergi ke Israel, berkunjung ke gereja Nativity di Nazareth dan ingat kami serta mendoakan kami. Itu mengharukan. Betapa indahnya seorang Danarto," ujar pengajar di Universitas Indonesia itu.
Danarto tak sekadar sastrawan, tapi juga seniman rupa dan pemain teater. Kemampuan komplet seperti ini, kata Melani, jarang dimiliki seorang manusia. Sebagai sastrawan, karyanya cukup panjang dan konsisten. Awalnya karyanya kaya akan nilai sufistik, menggambarkan dunia yang surealis, bermain dengan alam mistik dan hal itu menjadi kekuatan Danarto.
Cara menggambarkannya juga puitis sekaligus bisa bermain-main. Karyanya menantang semua indra. Namun belakangan, karya-karya Danarto, menurut Melani, lebih terasa keseharian, main-main, makin rileks dengan kritik sindiran tentang perang, politik, kemanusiaan, dan sebagainya.
Salah seorang sahabatnya, Ahmadun Y. Herfanda, menilai Danarto adalah sosok yang unik. Hobi makan enak dan suka mentraktir makan. Ia pernah mengingat pengalaman taruhan makan tentang ramalan kiamat Suku Maya pada 2012. "Dia percaya sekali, ada buku tebal yang menurutnya sangat meyakinkan," ujarnya.
Bukan hanya soal sastra, mereka sering berdiskusi dan berdebat. Salah satunya tentang ajaran Lia Aminudin. Pertemuan terakhir terjadi ketika ia mengundang Danarto dalam diskusi Ramadan pada tahun lalu. Danarto enggan dijemput ke tempat acara.Tapi nyatanya ia malah tersesat. "Akhirnya ketemu. Saya lihat, kok ada orang main-main pakai kembang api. Ternyata itu Mas Dan. Idenya itu, lo," ujarnya.
Saat kecelakaan, ditemukan banyak pecahan uang. Menurut Ahmadun, uang itu dipakai untuk jajan dan diberikan kepada anak-anak kecil di dekat rumah kontrakannya.
Pengamat seni rupa Agus Dermawan menilai kesuksesan Danarto dalam sastra sering membuat orang lupa bahwa Danarto adalah perupa, dengan fokus seni lukis. Kegiatan itu ia lakukan jauh hari sebelum terjun ke dunia penulisan. "Ia anggota pertama Sanggar Bambu yang didirikan di Yogyakarta pada 1959," ujar Agus.
Lukisannya, menurut Agus, sering mengusung keanehan yang puitis. Ia menerjemahkan gagasan menurut tafsir batinnya yang sejak awal adalah sufistik, sehingga yang muncul gambaran perenungan berlapis dalam nuansa realistik. Hal itu bisa dilihat dari lukisannya pada 1960-an: Lampu-lampu Fana; Tak Henti Mendera Kuda, dan Pantai Para Manusia.
Agus juga mengatakan Danarto mengerjakan banyak gambar ilustrasi dari seni rupa merenung. Ilustrasi itu diciptakan berdasarkan cerpen sufistik beraroma tasawuf yang dikerjakan. "karena itu, setiap mengirim cerpen ke koran atau majalah, Danarto selalu meminta agar ilustrasinya digarap sendiri. Hampir semua koran dan majalah menurutinya."
AISHA SHAIDRA | DIAN YULIASTUTI
*tulisan ini sebelumnya dimuat di koran Tempo edisi 12 April 2018