TEMPO.CO, Denpasar - Aktris yang kini menekuni seni drama, Happy Salma, menyebutkan untuk tetap bisa eksis memperjuangkan idealismenya, seorang seniman juga harus memiliki strategi. Sering kali hal itu harus membuat seniman sedikit berkompromi dengan keadaan.
“Seni pertunjukan itu puncaknya ya harus bisa ditampilkan, sayang kalau hanya jadi bahan polemik saja,” ujar Happy Salma dalam acara Ruang Kreatif: Bincang Seni Pertunjukan Indonesia di Bentara Budaya Bali, Selasa malam, 2 Agustus 2016.
Happy Salma mencontohkan, pertunjukan monolognya yang mengangkat tokoh Tan Malaka di Bandung di mana pertunjukan itu pada hari pertama sempat diancam akan dibubarkan oleh organisasi massa. Situasi itu membuatnya membatalkan pentas di hari pertama. Namun kemudian, panitia berhasil mendapat jaminan dari Wali Kota Bandung Ridwan Kamil sehingga keamanan pentas benar-benar dijaga oleh pihak kepolisian.
Hal yang berbeda terjadi saat ia memproduseri pementasan Bumi Manusia yang merupakan bagian dari tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Saat itu dengan melibatkan sejumlah artis populer ternyata lebih mudah untuk membuat ruang diskusi dengan pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam perizinan di tengah masih kuatnya stigma terhadap karya Pram.
“Polisinya malah bilang minta diundang karena ngefans dengan Chelsea Islan,” kata Happy Salma.
Sutradara film Garin Nugroho, yang juga tampil dalam acara yang digagas Galeri Indonesia Kaya (Bakti Budaya-Djarum Foundation) itu, menyatakan, strategi individual setiap seniman sangat penting di tengah kebijakan politik pemerintah yang tidak memiliki strategi budaya.
“Setiap seniman harus mengembangkan manajemennya sendiri sesuai dengan idealismenya Yang penting dia harus tetap berkarya, tumbuh dan puncaknya bisa saling memberi dengan seniman lain,” ujar Garin.
Hal itu bukan hanya dalam hal mempertahankan idealisme tapi dalam semua hal bahkan termasuk soal pendanaan. “Setiap seniman harus memiliki pemetaan terhadap kondisi di sekitarnya. Saya sendiri biasa merancang program hingga dua tahun ke depan dengan proyek yang bernilai Rp 20 miliar hingga aktivitas yang hanya mengandalkan modal sosial alias gotong-royong,” ujar Garin, yang tahun ini akan membuat peringatan 35 tahun berkarya.
Situasi di Indonesia berbeda dengan negara-negara di Eropa misalnya, di mana kebudayaan dianggap sebagai kebutuhan primer sehingga karya-karya kreatif disubsidi oleh negara. Karena itu, seniman harus mampu melihat sumber pendanaan yang beragam dari yayasan internasional, program corporate social responsibility, sampai individu-individu yang memiliki komitmen pada kesenian.
Ada juga cara lain yang dilakukannya, yakni dengan mengakali proses kreatif yang dilakukan. “Misalnya, saya pernah mengerjakan film populer yang mestinya dijadwalkan 30 hari, tapi dengan kesepakatan pemilik uang, saya kerjakan 20 hari saja. Sisanya yang 10 hari, alat-alat saya gunakan untuk proyek pribadi yang lebih idealis,” ucap Garin.
ROFIQI HASAN