TEMPO.CO, Denpasar - Umbu Landu Paranggi kembali tampil di atas panggung membacakan sejumlah puisi dalam perayaan dua tahun kelahiran pusat kegiatan sastrawan di Bali, Jatijagat Kampung Puisi (JKP), Denpasar pada Jum'at, 27 Mei 2016.
Tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an itu memulai acara dengan membacakan beberapa puisi karya Emha Ainun Najib yang juga penyair asuhannya. Beberapa puisi karya Emha yang dibacakan Umbu di antaranya Yogyaku, Antara Tiga Kota, dan Jalan Sunyi.
Umbu mengatakan selain merayakan dua tahun kelahiran Jatijagat Kampung Puisi, acara itu juga untuk memperingati kelahiran Emha Ainun Najib dan perupa asal Bali Nyoman Erawan. Tak hanya perayaan, kegiatan itu sekaligus untuk mengenang beberapa peristiwa yang pernah terjadi di Tanah Air.
Jatijagat Kampung Puisi lahir pada 25 Mei 2014 lalu, namun Umbu memilih perayaan tersebut pada 26 Mei dan 27 Mei untuk memperingati peristiwa gempa di Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei 2006 silam. "Sudah 10 tahun gempa di Yogyakarta. Jadi kita bersama sedang duduk di Jatijagat memandang Yogyakarta dari sini," kata Umbu di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar, Jum'at, 27 Mei 2016 malam.
Peristiwa lain yang ikut dikenang adalah bencana tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Menurut Umbu, dari peristiwa dahsyat tersebut terdapat pesan mendalam tentang pentingnya menghormati laut sebagai masyarakat yang hidup di negara kepulauan.
"Itu tidak bisa kita tolak. Dalam budaya Jawa dan Bali dengan jelas merumuskan segara (lautan)," tutur mantan 'Presiden Penyair Malioboro' itu. "Mungkin itu yang luput selama ini tidak diajarkan di sekolah dan kurikulum universitas. Ingat, kita hidup di negeri kepulauan, laut adalah jembatan kita."
Pada hari kedua perayaan dua tahun Jatijagat Kampung Puisi ini, beberapa sastrawan kondang asal Bali tampil membaca puisi, yaitu Cok Sawitri, Oka Rusmini, Warih Wisatsana dan I Wayan 'Jengki' Sunarta.
Ditemui Tempo usai acara, Cok Sawitri mengatakan pertemuannya dengan Umbu di Jatijagat Kampung Puisi membuat dirinya terharu. "Beliau mendekati kami semua sebagai pribadi seolah kami yang paling terbaik," katanya sambil tersenyum. "Sekarang tampil seperti ini dengan segala simbolnya bahwa hubungan antara penulis dan perupa begitu cair, dan ada timbang rasa bagi kami."
Menurut Cok, ketika Umbu berbagi cerita bersama bagaikan mengajarkan tentang mengalirnya proses kreativitas yang penuh kesederhanaan. Pertemuan ini, ujar Cok, bukan tentang kerinduan dengan Umbu. "Tapi rasa hormat hubungan kami yang bisa menangis, marah dan tertawa. Pak Umbu secara tidak langsung mendidik tentang sopan-santun dan saling menghargai keberadaan masing-masing."
Adapun Nyoman Erawan mengatakan penampilan solo-run Umbu membaca puisi adalah peristiwa yang langka. Di hari ulang tahunnya yang ke-58 tahun itu, Erawan merasa seperti mendapat kado yang membahagiakan dari Umbu Landu Paranggi. "Ya jelas karena hubungan kami sebenarnya tidak terlalu sering ketemu, tapi hubungan batin," ujarnya.
BRAM SETIAWAN