TEMPO.CO, Yogyakarta - Jika figur pada karya lukis ini tidak menampakkan kepalanya, yang terlihat adalah sosok siswa sekolah menengah mengenakan rok sedengkul bercorak kotak-kotak seperti seragam siswa sekolah yang dikelola biarawati. Kakinya berbalut kaus kaki panjang hingga sedikit di bawah dengkul yang ditutup sepatu kulit pantofel. Kaki kirinya sedikit tertekuk seolah bergerak melangkah bak sedang berjalan menuju sekolah dengan tangan kiri menenteng tas dan tubuh bagian atasnya dibalut baju hangat.
Sekali lagi, jika figur ini tidak menampakkan kepalanya, suasana yang terbangun hanyalah gambaran seorang siswa menuju sekolah, mungkin di satu negara di Eropa, yang terlihat dari bentuk bangunan lawas dengan cerobong asap di atapnya.
Baca Juga:
Tapi, sejatinya karya lukis ini menampakkan figur lengkap dengan kepalanya, justru membangun narasi yang sangat berbeda. Bayangkan, kepala figur ini mirip dengan wajah monster dalam film horor. Kepala dengan rambut yang tumbuh jarang, dengan permukaannya yang membengkak di beberapa tempat. Sejumlah bentuk bulat membelalak pada bagian mata, dan di bagian bawahnya ada dua bentuk yang menggelantung. Kesannya, seram dan menjijikkan.
Lukisan karya M. Yakin ini dipajang di ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta, dalam pameran besama lima perupa lain--Andi Waskito, Galih H Swastika, Jaka Utama, Jessica J Tabah, Widi P Soegiono--dalam pameran bertajuk Idiosyncratic, 22-31 Maret 2016. Yakin, 22 tahun, menggarap dengan cermat karya ini dengan teknik pointilis memakai tinta di atas kertas dalam warna monokrom. Nuansa gelap yang dominan membangun kesam suram yang menakutkan, seperti dalam mimpi buruk. Yakin menggabungkan citraan figur normal dengan citraan yang hanya ada dalam hayalan dan alam mimpi pada karya tanpa judul ini, sehingga membebaskan orang memberi makna hanya berdasarkan citraan. Hasilnya: absurditas.
Dalam seni rupa eksplorasi terhadap citraan absurd dikenal lewat genre surealisme. Pakemnya, mengabungkan sesuatu yang normal dengan sesuatu yang tidak normal. Satu suasana yang bergerak dalam pikiran yang tak biasa, aneh, yang dalam psikoanalisis acap disebut idiosyncratic, sebagaimana judul pameran ini.
Widi P. Soegiono, juga cenderung mengeksplorasi gagasan visual sureal. Widi, 21 tahun, menampilkan figur bewarna monokrom dari goresan charcoal dengan bentuk normal dari kepala hingga kedua tangannya. Tapi tubuh pada karya bertajuk So Much Malignance You Can’t See itu menjelma menjadi bayangan yang meluber bak cairan kental hingga bagian kakinya.
Sedang Andi Waskito membiarkan tubuh berbentuk normal dalam situasi yang tak normal. Pada karya lukisnya, Andi, 21 tahun, tubuh seolah tanpa bobot, mengambang dan melayang di udara melawan hukum grafitasi, bak tersedot ke satu titik yang tak berujung. Dengan teknik cat air dalam warna cerah di atas kertas, karya Andi terasa liris.
Pada karya lain unsur absurditas pikiran dalam elemen visual tidak menonjol. Ada karya yang mengeksplorasi gaya abstrak ekspresionis. Atau karya yang menampilkan elemen visual yang hanya berupa kumpulan simbol yang jauh dari pikiran yang menembus batas normalitas sebagaimana yang dijabarkan dalam konsep kuratorial oleh AC Andre Tanama.
RAIHUL FADJRI