Ifah menyebutkan, adegan perempuan yang datang menyodorkan proposal dalam buku yang ditulis Habibie tidak ada. Tapi, dalam film, adegan itu ditambahkan agar lebih dramatis. Hal ini bisa dimaklumi oleh Habibie.
Menurut Ifah, dalam memfilmkan buku perlu melihat kejadian mana yang punya pengaruh kuat ke dalam cerita, ini adalah salah satu cara memilih bagian cerita dalam buku yang harus diprioritaskan.
Sedangkan menurut Dandy—sapaan Nurhady—sineas Indonesia melalui media film punya peluang besar untuk menutupi kurang berkembangnya karya sastra Indonesia. “Saya melihat ada usaha yang lebih berani yang ditunjukkan oleh para sineas Indonesia,” kata penulis buku Laskar Pemimpi ini, sebuah buku yang mengkritik karya Andrea Hirata.
“Film yang berhasil adalah film yang berani tidak setia pada buku yang diadaptasi,” ujar Dandy. Ia mencontohkan, film Laskar Pelangi yang dibesut Riri Riza, yang berhasil membuang segala hal yang fantastis kemudian menambahkan satu tokoh, adalah sebuah terobosan yang membuat film ini lebih bagus ketimbang bukunya.
Ingin tahu perbedaan kedua budaya ini? Baca bukunya, dan tonton filmnya.
MUHCLIS ABDUH