TEMPO Interaktif, Surakarta - Penampilan penyanyi serba bisa asal Kota Solo, Sruti Respati, menjadi penutup Solo International Performing Art (SIPA) pada Ahad malam, 3 Juli 2011. Beberapa anak mendampingi Sruti dengan memainkan dolanan anak serta wayang kulit di atas panggung.
Dalam penampilannya, Sruti mempersembahkan beberapa lagu yang berirama segar. Dengan cengkok yang khas, Sruti menyanyikan lagu dolanan Jamuran dan Cublak Cublak Suweng dengan irama jazz.
Baca Juga:
Hari ketiga penyelenggaraan SIPA itu tidak kalah meriah dengan dua hari sebelumnya. Sekitar sepuluh ribu pasang mata menyaksikan penampilan para delegasi seni dari berbagai negara di malam terakhir itu.
Penampil dari Universiti Malaysia Sabah juga tampil dalam kegiatan bertema "Kejayaan Topeng" tersebut. Mereka menampilkan sebuah tarian kontemporer berbasis tradisi berjudul "Tuping". Tarian rumpun melayu yang dibawakan 12 penari itu cukup atraktif dengan iringan musik khas Dusun Murut di Negeri Sabah. Tarian yang dibawakan merupakan ritual pengusir roh yang biasa dilakukan saat upacara kematian. Beberapa penari membawa semacam pot berukuran besar dan tentu saja topeng untuk properti mereka.
Nyaris tak kentara jika penggarap tari "Tuping" itu justru seorang wanita asal Solo. Sri Ningsih, demikian namanya, merupakan dosen yang telah mengajar di perguruan tinggi tersebut sejak tujuh tahun silam.
Kesenian topeng, dalam bahasa setempat disebut "tuping", sebenarnya tidak ditemukan di kebudayaan Sabah. Koreografer mencoba mengawinkannya dengan budaya setempat. Adapun topeng yang digunakan dibuat dari bahan silikon sehingga bisa terpasang erat di wajah.
Tidak semua penyaji tampil membawa topen walaupun Kejayaan Topeng menjadi tema utama. Lembaga tari modern, Leineroebana, asal Belanda, misalnya, menyuguhkan karya berjudul "Tempus" tanpa sebuah topeng pun. Dengan tarian yang berbasis balet, mereka mengusung unsur simetris, ritme, serta komposisi. Melalui "Tempus", mereka bercerita tentang misteri sebuah perjalanan yang berpacu dengan waktu.
Dalam perjalanan hidup, terkadang seseorang menyembunyikan sifat aslinya. "Hal ini menjadi keterkaitan antara "Tempus" dengan topeng," kata koreografer, Harijono Roebana. Mereka hanya perlu menyembunyikan wajah dengan telapak tangan untuk menyimbolkan sebuah topeng.
Pada malam sebelumnya, Teater Aron asal Medan justru mengusung sebuah topeng keramat dalam pementasan berjudul "Gundala". Menurut koreografer, Joey Bangun, topeng tradisional berusia ratusan tahun itu merupakan milik tetua adat masyarakat Karo. Selama penampilan sekitar 25 menit, tarian yang mereka lakukan terlihat seperti bermain-main, dengan melenggangkan tangan sembari melompat-lompat. Topeng yang mereka kenakan memiliki ukuran yang tidak proporsional hingga dagu di topeng tersebut berada tepat di depan dada penari.
"Sesuai aslinya, gerakan tari Gundala memang demikian adanya," kata Joey. Tarian tersebut menceritakan perjuangan kerajaan dalam menaklukkan burung Gurda Gudri yang sering memangsa manusia.
AHMAD RAFIQ