Dibandingkan dengan pentas perdana di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Oktober tahun lalu, konsep besar desain panggung ini tak banyak berubah. "Kali ini, detail pemanfaatan ruang sedikit berubah," ujar desainer panggung Danny Wicaksono.
Panggung dibentuk seperti jalur yang melingkar dari tumpukan kayu setinggi 4 meter. Di bawahnya terdapat ruang-ruang kecil dari rusuk bangunan dan difungsikan laiknya penjara bawah tanah. Konstruksi ini nantinya akan dilengkapi dengan kotak sel besi yang bisa naik-turun dari atas.
Desain panggung semacam ini memang pertama kali dalam sejarah teater di Indonesia. Ada tiga bagian besar yang sebetulnya ingin ditonjolkan dalam panggung. Sisi kanan panggung mengambil porsi konstruksi yang besar. Gambaran pabrik diperlihatkan dari kayu-kayu lawas, lalu penjara yang dilukiskan dengan jeruji besi, dan visualisasi kapal dengan visualisasi cerobong di sebelah kanan panggung.
Pada pertunjukan perdana lalu, letak kelompok paduan suara berada di sebelah kiri atas yang memanfaatkan letak catwalk. Tapi, kali ini agak berbeda. Tim tersebut menempati sisi kiri panggung yang terlihat kosong dalam dua level. Tempat ini dulu diisi oleh para pemusik. Namun, pada pertunjukan nanti, orkes kamar ini akan mengisi panggung bagian depan.
Perubahan detail desain panggung ini menyebabkan penyesuaian letak penonton. Dua deret kursi penonton pada sayap kiri dan kanan tak digunakan. Selain itu, akan terdapat jarak antara penonton dan panggung. "Kalau di Salihara dulu, audiens dibuat tak berjarak dengan panggung,” kata Danny.
Opera kerja sama penyair Goenawan Mohamad dengan komponis Tony Prabowo ini melibatkan banyak seniman. Dari musik, akan tampil kelompok paduan suara Paragita Universitas Indonesia, dengan orkes pengiring yang beberapa pemainnya adalah anggota Pitoelas Big Band, pianis Adelaide Simbolon, serta dua penyanyi sopran, Binu D. Sukarman dan Nyak Ina Raseuki (Ubiet). Juga dirigen Josefino Chino Toledo dari Filipina.
Komponis Tony Prabowo menciptakan komposisi musik dari libretto (dialog yang dinyanyikan) yang ditulis sutradara Goenawan Mohamad. Dalam pertunjukan kali ini tidak ada dialog karena Goenawan menyusun naskah tanpa alur cerita. Selain itu, tak ada penokohan. Semua aktor hanya bertutur.
Dengan alur semacam ini, membangun karakter musik dan ekspresi dramaturgi tidaklah mudah. Butuh strategi dan kreativitas untuk membangun dramaturgi itu. Tony, mau tidak mau, harus menghidupkan emosi musik serta mengikuti tafsir makna dan suasana puisi.
Tony pada akhirnya memilih idiom musik yang sangat kontemporer, tak lagi patuh pada konsep opera konvensional. Hal ini menjadi tantangan baginya.
Komposisi opera Tan Malaka masih dikatakan umum, yaitu terdapat tema dan pengembangannya. Musik digarap dengan harmoni yang sangat kaya. Pola yang dipilih adalah bagian bermotif ritmis, berbentuk kanon, bagian harmoni, arya bergaya klangfarben, dan bagian kuintet.
Semula Tony ingin mendekatinya dengan musik gaya Rusia untuk mendapatkan karakter Tan. Namun, ia ingin karyanya lebih sederhana dan komunikatif.
Yang membuat beda, Tony akan menambahkan akapela dalam repertoar-repertoar opera esai ini. Para penyanyi juga ikut larut dalam koreografi yang diciptakan Fitri Setyaningsih. Dengan begitu, kelompok paduan suara tak hanya menempel dalam pertunjukan, tapi juga ikut melebur di dalamnya.
ISMI WAHID