TEMPO Interaktif, Surakarta - Tiga sosok manusia berdiri mematung di sudut panggung. Suara musik yang biasa dilagukan saat menidurkan bayi terdengar. Suara musik itu membuat ketiga sosok manusia yang terdiri dari dua lelaki dan satu perempuan itu, terbangun dan bercengkerama.Bercanda dan berlarian.
Mereka adalah calon bayi yang digambarkan berada dalam rahim seorang wanita. Sesekali terdengar suara seorang perempuan yang merintih. Tak kuat menahan sakitnya mengandung, dia meminta sang suami segera mencari bidan atau dukun bayi.
Di dalam rahim, ketiga calon bayi itu tak sabar untuk segera menghirup udara dunia. Mereka berlarian dan melakukan segala cara agar perut sang ibu makin mulas, dan mereka segera dilahirkan. Mereka menunggu untuk dilahirkan.
Syahdan, sang ibu akhirnya masuk ruang operasi rumah sakit. Karena tiga anak kembarnya sungsang, terpaksa dilakukan operasi. Anak pertama dan kedua lahir dengan selamat. Namun anak ketiga, yang berjenis kelamin perempuan, meninggal saat dilahirkan. Sang ibu juga meninggal karena kehabisan darah.
Teater Lantai Dua menggelar pertunjukan bertajuk Dunia Kecil di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Minggu dan Senin, 3-4 April 2011. Mereka mementaskan tiga cerita pendek yang diadopsi menjadi teater. Berdiri sejak awal 2007, Teater Lantai Dua telah memanggungkan empat naskah seperti Selerak, Pulse, dan La El di Asrama Langit. Mereka sudah pentas delapan kali di Solo, Ponorogo, Mataram, dan Magelang.
Dunia Kecil mengutamakan kekuatan narasi dan dialog para pemainnya yang kemudian ditimpali dengan gerakan para tokoh untuk menguatkan narasi. Seperti dalam cerita kedua berjudul De Lipa. Disitu digambarkan dua orang tamu hotel yang sudah kepayahan menunggu untuk diselamatkan. Mereka terjebak dalam hotel, sementara cuaca di luar badai.
Kepayahan itu ditunjukkan dengan tubuh lunglai. Doyong ke kanan, ke kiri. Bersandar, tegak, bersandar lagi, hingga rebah di lantai. Lain lagi dengan cerita ketiga bertajuk Tanggal. Para hantu yang sedang berada di alam kubur, bergerak tak karuan. Berdiri tegak, rebah, berguling, tengkurap, dan telentang.
Sutradara Retno Sayekti Lawu juga menyisipkan sedikit permainan proyektor untuk menguatkan suasana. Misalnya di cerita pertama yang berjudul Lolongan Patah-patah. Untuk menggambarkan proses operasi kehamilan-bayi disedot dengan mesin vacuum-proyektor menembakkan gambar pusaran cahaya yang terus berputar dan akhirnya mengecil. Tanda si jabang bayi berhasil keluar dari perut ibunya.
Lawu-sapaan karibnya, menjlaskan ketiga cerita itu berdiri secara terpisah. Tidak ada kaitannya sama sekali. “Tapi ketiganya punya benang merah yang sama, menunggu,” ujarnya ketika ditemui Tempo usai pementasan, Senin, 4 April 2011 malam.
Penulis cerita De Lipa Hanindawan memuji penggambaran cerita yang dia buat. Menurutnya, Retno dan kawan-kawan berhasil menampilkan apa yang dia rasakan saat itu. “Cerita itu berdasarkan kisah nyata yang saya alami. Saat saya terjebak dalam hujan badai di sebuah hotel di Filipina pada 2000,” jelasnya.
Lawu dikatakannya bisa menampilkan suasana kalut dan putus asa yang dia alami. Kesan itu tampak dari penggambaran suasana melalui narasi dan dialog para tokoh. Dia menyebut gerak tokoh bukan untuk menggambarkan suasana, karena hal itu sudah terbangun dari narasi. “Gerakan tokoh hanya mendukung narasi,” ujarnya.
Salah seorang penonton, Wawan Hermawan, mengaku terhibur dengan suguhan Teater Lantai Dua. Sebagai orang yang awam, dia bisa dengan mudah memahami maksud pementasan. “Saya terbantu dengan narasi dan dialog dalam cerita,” katanya.
UKKY PRIMARTANTYO