Betapa tercabik-cabiknya Sanikem. Tak ada yang bisa ia lakukan. Yang tersisa hanyalah dendam tak berkesudahan.
Begitulah awal kisah drama Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh yang dipentaskan ulang di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat dan Sabtu malam lalu. Drama ini telah dipentaskan pertama kali di Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, dan Erasmus Huis, Jakarta, Mei tahun lalu.
Naskah diadaptasi oleh Faiza Mardzoeki dari novel karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia. Tahun lalu, drama ini sukses dipentaskan di negeri Belanda dalam beberapa festival.
Drama ini berkisah tentang seorang gundik yang pada akhirnya mampu mengendalikan sebuah perusahaan besar. Ia dikenal dengan nama Nyai Buitenzorg. Rupanya lidah pribumi susah melafalkannya. Jadilah orang-orang memanggilnya Nyai Ontosoroh.
Sanikem, Ontosoroh muda, digambarkan sebagai perempuan yang melawan garis nasib pergundikan. Ia mempelajari apa saja, termasuk membaca, menulis, bahkan ilmu perdagangan. Beruntung, Tuan Mellema berbaik hati mengajarkan segala hal kepada Sanikem.
Ontosoroh tak mau nasibnya menurun kepada anak perempuannya, Annelis Mellema. Ia bersama Minke memperjuangkan hak-hak pribumi yang dipandang sebelah mata oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu.
Formasi pemain dalam pentas drama Mereka Memanggilku Nayi Ontosoroh kali ini hampir sama dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya. Sita Nursanti memerankan Ontosoroh dengan lebih matang setelah beberapa pentas di Belanda. "Ada pengalaman batin yang lebih kaya," ujar Sita, penyanyi grup trio RSD (Rida-Sita-Dewi).
Ekspresi Sita sangat memukau ketika ia meluapkan segala kemarahannya kepada Tuan Mellema. Atau, monolog saat Sita menggugat hak yang hanya memihak kepada kaum Belanda totok. Sita juga lebih bisa menguasai ruang dengan gerakan tangan yang ia tambahkan sesekali.
Begitu juga pemeran Herman Mellema (Willem Bevers) dan Minke (Bagus Setiawan). Namun peran Annelis Mellema, yang semula dimainkan oleh Agni Melati, malam itu diperankan oleh Anita Bintang. "Agni sedang sakit," kata sutradara Wawan Sofwan.
Wawan mengaku sangat puas atas konsep panggung pada malam itu. Tiga properti yang diletakkan terpisah sangat mewakili setting masa lalu dan masa kini. Tak ada batas antara panggung dan penonton. "Pemanggungan sangat ideal," ujar Wawan, yang telah menyutradarai drama ini dalam versi panjang (berdurasi sekitar tiga jam) pada 2007.
Drama berdurasi satu setengah jam ini diatur persis sama dengan pertunjukan di Zuiderpershuis Culturel Centrum, Antwerpen. "Antwerpen adalah puncak pertunjukan mereka," katanya.
Menurut Wawan, para pemain berperan lebih matang setelah pertunjukan di Belanda. Bahkan salah seorang direktur festival Tong-Tong, Den Haag, mengatakan kepada Wawan, "Pertunjukan ini adalah bagian dari kami. Orang tua kami tak lain adalah nyai-nyai itu," ujar Wawan, menirukan.
Naskah tak berubah banyak setelah tur pertunjukan di Belanda. Justru yang berubah adalah pengalaman batin karena mereka memainkannya di negara yang menjadi bahan hujatan dalam naskah itu. Selain di Den Haag dan Antwerpen, mereka mementaskannya di Tropentheater, Amsterdam.
Wawan mengatakan anak-anak muda di Belanda sempat kaget melihat drama ini. “Mereka rupanya sangat sedikit menerima kurikulum kolonialisme dalam sistem belajarnya,” katanya.
ISMI WAHID