Terlukis dengan cat akrilik di atas kanvas berukuran 90X98 sentimeter, narasi itu merupakan satu di antara 22 karya perupa Patricio Da Cruz Quantio yang dipamerkan di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta dengan tema Love-Volution, sepanjang 10-21 Maret 2011.
Menurut perupa muda kelahiran 1975 itu, Sulitnya Mencari Keseimbangan –demikian judul lukisan itu- bercerita tentang realitas di Timor Leste kini. Gaya hidup orang di sana, perlahan tapi pasti, mulai kebarat-baratan. Sengaja dia angkat idiom hamburger ke atas kanvas, sebagai simbol globalisai yang merambah hingga relung terdalam budaya tradisional masyarakat. "Globalisasi sangat berpengaruh disana," kata Patricio.
Pemandangan semacam itu, lanjut dia, menyisahkan keprihatinan. "Nilai-nilai tradisional seakan mulai ditinggalkan," ujar lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta ini.
Kegetiran terhadap gencarnya serbuan globalisasi itu tercermin dalam karyanya yang berjudul Always Cola-Cola. Di atas kanvas berukuran 120X120 sentimeter, dia melukis dua perempuan tua duduk berjongkok. Di depan mereka, sembilan buah semangka dibiarkan menumpuk begitu saja. Tak terjamah. Di tangan keduanya, tergenggam minuman ringan itu, masing-masing berkemasan botol dan kaleng. "Mereka lebih memilihh Cola-Cola daripada buah hasil sawah sendiri," kata Patricio bercerita tentang lukisan yang dibuatnya.
Keprihatinan itu memercikan sebuah perlawanan. Setidaknya, melalui lukisan, dia berusaha mengingatkan. Dalam karyanya yang berjudul A Woman With a Mask, dia melukis sosok perempuan berpakaian tradisional Timor Leste lengkap dengan kaibauk di atas kepala. Kaibauk adalah sejenis penghias kepala terbuat dari kuningan berbentuk melengkung. Benda ini dipasang di dahi sebagai ciri identitas wanita Timor.
Tangan wanita dalam lukisan itu tampak memegang sebuah topeng. Wajah topeng itu, kulit mukanya kuning dengan bibir merah. Idiom topeng itu digunakan sebagai simbol wanita barat. "Kenapa kita tak menjadi diri sendiri saja," kata perupa yang mengidolakan Xanana Gusmao itu mempertanyakan.
Karya yang dipamerkan di Tembi Rumah Budaya, dibuat Patricio dalam rentang tahun 2009 hingga 2010. Karya-karya itu sekaligus menjadi penanda perjalananan menemukan identitas untuk gaya lukisan yang dipilihnya. Lukisan Patricio bergaya realis. Kebanyakan di antaranya dibuat dalam kesan fresco, mirip klise film monokrom namun lebih karya warna. Perbedaan warna dalam lukisannya dibuat sangat nyata. Semisal, Sulitnya Mencari Keseimbangan, Always Coca-Cola, dan A Woman With a Mask. Semua dia buat dengan kesan seperti itu.
Love-Volution, menurut Patricio, adalah sejenis reportase tentang tanah kelahirannya, Timor Leste. Karya-karya yang dipamerkannya memang lebih banyak menampilkan gambaran pengaruh luar daripada masyarakat di sana. Bukan hanya karena pernah dijajah Portugis atau pernah menjadi "propinsi 27 Indonesia", namun karena produk-produk multinational company.
Bagi dia, produk itu bisa membuat terlena. Hingga melupakan akar budaya setempat. "Tak semua pengaruh globalisasi selalu menguntungkan," katanya.
@
ANANG ZAKARIA