Kata Arukat, dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara, berbagai ideologi yang mengancam Pancasila harus dilarang karena berpotensi merusak ideologi bangsa.
Pelarangan penayangan Opera Tan Malaka ini terjadi di wilayah Malang dan Kediri, Jawa Timur. Aparat setempat beralasan, tayangan yang diproduksi Tempo TV itu berbau "kiri" dan bisa menimbulkan gejolak di masyarakat.
Direktur Utama Tempo TV Santoso mengatakan aparat di Malang dan Kediri tidak paham atas tontonan itu. "Sebagian aparat masih berpikiran kolot, alergi terhadap segala hal yang berbau kiri," kata Santoso kemarin. "Mereka masih berpikiran seperti zaman Orde Baru."
Tayangan Opera Tan Malaka merupakan hasil rekaman atas pertunjukan teater Opera Tan Malaka di Teater Salihara, Jakarta, Oktober tahun lalu. Semula ada 10 stasiun televisi lokal yang berminat memutar rekaman opera itu. Tapi Batu TV Malang dan KSTV Kediri batal menyiarkan tontonan itu.
CICS kawatir, jika tayangan itu tetap diputar akan terjadi reaksi dari kalangan Islam khususnya Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, CICS, serta kelompok-kelompok benteng Pancasila. "Ini merupakan manuver licik, mereka selalu gunakan jargon HAM dan Demokrasi, padahal ini pembelokan sejarah," ujar Arukat.
Wakil Ketua Laskar Ampera Arif Rahman Hakim Angkatan 66 Jawa Timur, Yousri Nur Raja Agam mengatakan, menilai Tan Malaka sebenarnya bukan tokoh komunis. "Dalam sejarahnya dia tidak terlalu komunis tapi lebih sosialis," katanya.
Namun Yousri khawatir, penayangan film ini akan dijadikan pemicu kembalinya PKI. Apalagi masyarakat selama ini masih menganggap Tan Malaka sebagai bagian dari ideologi komunis yang hidup di Indonesia. "Saya kawatir, Tan Malaka akan jadi ikon komunis baru, saya minta ini opera ini dikaji dulu sehingga tidak menjadi pro dan kontra di masyarakat," ujarnya.
ROHMAN TAUFIQ