TEMPO Interaktif, Banyuwangi - Tabuhan gamelan dan angklung bersahut-sahutan membelah keramaian. Para penabuh itu mengiringi para tetua adat yang menggotong sebuah tumpeng raksasa. Di barisan belakangnya, para perempuan membawa tumpeng yang ukurannya lebih kecil, sebanyak sembilan buah.
Mereka mengarak tumpeng keliling desa dan berakhir di Balai Desa Glagah, Kecamatan Glagah, sekitar 5 kilometer dari Banyuwangi. Di balai desa itulah, ribuah warga desa setempat berkumpul mengikuti puncak upacara selamatan desa.
Adat tersebut mereka namakan Gelar songo. Dalam bahasa Jawa, songo berarti sembilan. Upacara yang dilaksanakan setiap bulan Syuro itu memang kental dengan angka 9. Selain pada tumpeng, jumlah 9 juga nampak pada sarana upacara lainnya, seperti pisang goreng, ayam kampung, dan pisang cengkir.
Bagi warga Desa Glagah, angka sembilan memiliki banyak arti. Menurut salah satu tokoh adat, Teguh Eko Rahardi, sebelum dilahirkan, manusia berada di dalam kandungan ibu selama 9 bulan. Agama Islam di tanah Jawa, kata dia, disebarkan oleh sembilan wali Allah atau yang dikenal Wali Songo. "Banyaknya bintang umumnya juga sembilan," Ceritanya di depan ribuan warga desa.
Rangkaian adat Gelar Songo tersebut dimulai sejak pukul 05.30 Wib. Diawali dengan selamatan di sumber air Rejopuro. Sumber ini dipercaya menjadi sumber air utama yang menghidupi warga desa yang sebagian besar menjadi petani.
Berikutnya mereka melakukan selamatan di makam Buyut Ka'i. "Buyut Ka'i adalah orang pertama yang membabat alas Desa Glagah," tutur Suminto, tokoh adat lainnya.
Menurut Teguh, adat Gelar Songo tersebut dilaksanakan secara turun-temurun sebagai wujud syukur dan penolak-balak musibah.
Setelah lelah mengarak tumpeng, warga kemudian bersama-sama menyantap nasi tumpeng dengan ayam kampung khas Desa Glagah. Tabuhan gamelan dan angklung berganti tawa riuh warga berebut makanan.
IKA NINGTYAS