-----
Judul: Darah Garuda: Merah Putih II
Genre: Epik, Aksi
Sutradara: Yadi Sugandi dan Connor Allyn
Pemain: Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Rifnu Wikana, Darius Sinathrya, Rahayu Saraswati, Rudy wowor, Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, Aldy Zulfikar.
-----
Ambang Agustus 1947. Meski kemerdekaan telah diproklamirkan dua tahun sebelumnya, Indonesia masih harus berperang melawan agresi militer yang dilancarkan Belanda. Perlawanan nan heroik dari tentara kita berkecamuk di sejumlah tempat, terutama di hutan-hutan belantara di tanah Jawa.
Alkisah, empat sekawan dari latar beragam kembali terhubung pada sebuah misi yang lebih berdarah. Amir (Lukma Sardi), Tomas (Donny Alamsyah), Dayan (Rifnu Wikana), dan Marius (Darius Sinathrya) berjanji membebaskan tiga perempuan yang tertawan Belanda dan dipekerjakan di perkebunan teh.
Misi menyelamatkan Lastri (Atiqah Hasiholan), Senja (Rahayu Saraswati), dan istri Amir yang tengah hamil muda (Astri Nurdin), menjadi aksi pembuka film bertajuk Darah Garuda: Merah Putih II. Film yang diproduksi Media Desa Indonesia ini merupakan sekuel Merah Putih. Diceritakan, aksi heroik empat sekawan itu berjalan mulus. Penuyusupan ke kamp tawanan di siang bolong, yang hanya dilakukan empat orang, bisa berhasil dengan mudah.
Lalu, mereka mencari jejak pasukan Jendral Sudirman di hutan Jawa Tengah untuk bergabung. Dari penggabungan itu, Amir diangkat menjadi kapten, dan tiga lainnya setingkat letnan. Kabar kemenangan kecil di kamp tawanan perempuan mengantarkan mereka untuk dipercaya membuat sebuah misi rahasia. Di atas peta pulau Jawa yang masih bertulis tangan, rencana pun diracik. Hanya Amir, Tomas, Dayan, Marius, dan seorang kepercayaan Jendral Sudirman yang mengetahui itu.
Tapi misi rahasia yang berniat menggempur lapangan udara Belanda itu kandas sebelum dimulai. Pasukan khusus Jendral Sudirman kocar-kacir di hadang Belanda di tengah jalan. Dalam insiden itu, Dayan tertembak dan ditawan Belanda. Semua pasukan mati, yang tersisa hanya Amir, Tomas, Marius, Lastri yang ikut berjuang, Yanto (Ario Bayu) sang sersan pasukan khusus, dan satu anak buahnya bernama Budi (Aldy Zulfikar).
Sebelum kekalahan itu, isu pengkhianatan telah diembuskan Sersan Yanto dengan sebuah pertanyaan mengusik batin Kapten Amir. Sang sersan khawatir ada penyusup yang di bawa Kapten Amir. “Kawan-kawan kapten berasal dari orang-orang yang berbeda, sedangkan kami semua Jawa dan kami muslim. Kami bukan ras pengkhianat,” kata Yanto.
Usai kekalahan itu, mereka kembali bergerilya di dalam hutan. Setelah berpisah dengan Yanto yang bertugas mengalihkan perhatian Belanda, kelimanya bertemu dengan sebuah kelompok pejuang muslim. Kelompok ini, menurut sutradara Yadi Sugandi, hadir sebagai perwakilan kelompok mujahidin yang dikenal sebagai Hisbullah.
Bagi sutradara Yadi Sugandi, yang berduet dengan sineas asing Connor Allyn, menggarap film epik merupakan tantangan tersendiri. Unsur komersil dan potongan sejarah harus mendapat porsi yang adil dalam adonan film ini. Meski tokoh-tokoh fiksi memang dipoles untuk kebutuhan komersilisasi dan hiburan, estetikanya tak menihilkan sosok pahlawan yang sebenarnya.
Di film ini, hampir tak ada tokoh pahlawan asli yang diangkat ke permukaan, meski dikisahkan sempat bergabung dengan pasukan Jendral Sudirman. Di bagian itu, sosok Jendral Sudirman tidak dijabarkan secara tegas. Pahlawan itu hanya kebagian satu adegan, wajahnya tak jelas saat ditandu dari jauh. Bahkan pengangkatan kapten dan letnan untuk Amir dan kawan-kawan pun diwakili oleh wakil sang jenderal. “Saat ini kesehatan Jendral sedang tidak baik, ia sedang sakit,” ujar wakil itu menodorkan alasan.
Meski begitu, niat baik film ini mengumandangkan tema persatuan ragam ras dan golongan yang digambarkan dalam “pasukan mini” Kapten Amir perlu diacungi jempol. Ada Dayan dari Bali yang justru berjuang di tanah Jawa, Tomas asal Manado yang tak membedakan ras, Marius anak priyayi asal Jakarta, dan Lastri yang keturunan Belanda. Namun, dengan mentakdirkan Yanto sebagai pengkhianat, yang sebelumnya telah mendeklarasikan diri sebagai seorang Jawa dan muslim taat, membuat konsistensi niat itu kembali dipertanyakan.
Yang jelas, dari sisi sinematografi film ini boleh dibilang menarik. Porsi ledakan, konflik, dan darah, membuat greget film epik ini lebih menarik dibandingkan dengan seri perdananya, Merah Putih. Temponya bergerak lebih cepat, alur ceritanya juga dikemas dengan cukup ringkas, dan aksi heroiknya pun lebih gamblang. “Di film sebelumnya memang terkesan menjemukan, karena memang ingin memperkenalkan karakter masing-masing tokoh hingga dalam,” kata produser eksekutif Hashim Djojohadikusumo.
AGUSLIA HIDAYAH