Keluarnya sesosok tubuh jangkung dari balik layar menambah kengerian. Bayangkan, dengan tinggi sekitar 5 meter, ia muncul tanpa kepala. Memakai seragam militer, jarinya yang dibungkus kaos tangan merah menyeret ikatan tulang belulang lalu menghempaskannya ke segala penjuru. "Brak!" Suaranya begitu keras tiap kali beradu di lantai kayu. Tentara itu seperti tengah menebar ancaman.
Kali ini, sutradara, penulis naskah, sekaligus pimpinan Teater Payung Hitam, Rahman Sabur, kembali ke ciri khasnya. Berkisah tanpa kata-kata, drama sekitar satu jam tersebut hanya mengandalkan gerak tubuh lima aktornya. Selain tentara yang diperankan Yanuar IR, Latief Prayitna menjadi kakek, bapak oleh Rusli 'Keleeng', dan Ivan Mulder serta Dian Lugina sebagai anak.
Mereka mewakili sebuah keluarga yang dicap komunis turun temurun. Bagi Rahman, yang akrab disapa Babeh itu, keluarga juga diartikan sebagai persaudaraan yang mengikat. "Satu bangsa adalah keluarga," katanya.
Menurut Babeh, Genjer-genjer ingin menggugat ketidakadilan yang dirasakan jutaan warga Indonesia karena dicap komunis oleh Rezim Orde Baru. Babeh sangat berempati karena ikut menjadi korban ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Tuduhan komunis membuat ayahnya dipecat dari pabrik Philips di Kiaracondong, Bandung. Walau tak dibunuh, ayahnya dijebloskan ke penjara tanpa diadili.
Semula ia memakai judul Bingkai-bingkai untuk pementasan yang idenya ikut terpicu insiden Banyuwangi, Jawa Timur, belum lama ini. Di sana, sekelompok organisasi massa membubarkan pertemuan sejumlah anggota DPR dengan keluarga yang dituduh bekas orang komunis. Bingkai kayu besar selebar bentang tangan orang dewasa itu sendiri, kata Babeh, melambangkan aib pembantaian yang terus berpindah tangan sepanjang pementasan.
Bersama pemegangnya, bingkai jatuh dan terhempas berkali-kali. "Kalau itu aib, kenapa harus ditutupi. Itu kan jadi bangkai yang bau terus. Sekarang saatnya peluang untuk meluruskan sejarah," ujar Babeh. Pelurusan sejarah itu termasuk pengharaman terhadap lagu Genjer-genjer karena dicap sebagai tembang anggota partai komunis dan dikaitkan dengan kisah pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Lagu berirama lambat itu, kata Babeh, hanyalah karya seni. Untuk menjelaskan ihwal lagu itu, Teater Payung Hitam meminta izin Paring Waluyo Utomo untuk memuat tulisannya sebagai pengantar pertunjukan. Dalam catatannya, Paring menulis bahwa karya musik tersebut diciptakan seorang seniman Banyuwangi bernama Muhammad Arief.
Liriknya berkisah tentang kemiskinan warga Banyuwangi sejak dijajah Jepang pada 1942. Lenyapnya kesuburan alam, memaksa warga harus mengolah daun genjer sebagai teman nasi. Tanaman di sungai itu sebelumnya telah dikenal masyarakat sebagai pengganggu.
Setelah Indonesia merdeka, Arief bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Lagu ciptaannya yang sempat populer pada 1960-an itu ikut dinyanyikan penyanyi beken Bing Slamet dan Lilis Suryani masa itu dan direkam dalam piringan hitam. TVRI dan RRI pun pernah memutarnya sebagai lagu hits berulang kali.
Direktur Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan Averroes Malang itu menduga, pelarangan lagu Genjer-genjer oleh Orde Baru karena sejak awal dibuat dan kemudian berkembang di kalangan partai komunis.
Yang jelas, menurut Babeh, pementasan lakon Genjer-genjer malam itu tidak ingin dibiaskan ke ranah politik. Dia hanya ingin menggugat masalah kemanusian dan ketidakadilan di kalangan warga yang dicap orang komunis di negeri ini.
ANWAR SISWADI