Berikut petikat wawancara Rofiqi Hasan dari Tempo dengan Jay Subiyakto seputar pementasannya itu:
Bagaimana Anda bisa terlibat di acara ini?
Saya ditawari oleh Ibu Yunan Nasution dan kemudian konsep saya untuk mengembalikan Bali sesuai aslinya dengan revitalisasi di sana-sini bisa disetujui. Acara ini sudah tiga kali diselenggarakan dan saya coba selalu menampilkan hal yang berbeda. Tahun 2008, kita tampilkan tiga generasi seniman Bali seperti penari Cenik dengan anak dan cucunya. Nah, tahun ini saya tampilkan seniman Bali yang lebih popular di luar Bali bahkan di luar negeri.
Kenapa Dewa Bujana juga diajak?
Selama ini dia dikenal sebagai musisi pop melalui grup GIGI. Padahal Bujana juga membuat banyak sekali musik dengan warna Bali yang kental dari segi filosofi maupun warna musiknya.
Kenapa acaranya tidak di gedung yang representatif dan malah di lapangan sepakbola?
Kita inginnya memang di lapangan terbuka agar warga juga bisa melihat. Karena ternyata banyak sekali warga yang justru tidak mengenal seniman Bali karena mereka jarang tampil di televisi. Padahal karya mereka telah mendunia. Mereka lebih mengenal artis-artis dari Jakarta daripada di daerahnya sendiri. Karena itu di sini saya hanya membawa Gita Gutawa dari Jakarta.
Bagaimana Anda sendiri melihat kesenian Bali?
Di sini sebenarnya kesenian tumbuh menyatu dengan adat dan ritual. Seniman benar-benar dilahirkan dari dorongan untuk mengabdi pada keyakinannya, sehingga berusaha membuat yang terbaik. Tapi kita mesti hati-hati karena terpaan televisi yang luar biasa bisa mengubah orientasi masyarakat. Ruang-ruang berkesenian harus terus dibuka dan peran pemerintah menjadi kuncinya karena pemerintah yang punya dana, infrastruktur, dan jangkauan sampai ke pelosok. Peran pemerintah itu sekarang sangat minimal.