Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Buku Biografi Pelukis Arie Smit Terbit, Ini Resensinya  

image-gnews
Buku - Arie Smit, Maestro Pemburu Cahaya.  Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Buku - Arie Smit, Maestro Pemburu Cahaya. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Koran Tempo Akhir Pekan edisi Sabtu, 11 Februari 2017 memuat resensi buku berjudul Arie Smit, Hikayat Luar Biasa Tentara Penembak Cahaya, karya Agus Dermawan T. terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), September 2016, setebal 232 halaman (+ viii). Berikut kutipan lengkapnya.

+

Pada 8 Juni 1938, kapal Baloeran mengarungi lautan menuju Hindia Belanda. Perjalanan memakai Mail en Passagiersdienst Rotterdamsche Lloyd itu mengantarkan Arie bersama rombongan tentara Belanda dari pelabuhan Rotterdam menuju Tanjung Priok, Batavia. Usia Arie masih 22 tahun, dan ia sebenarnya tidak menyukai senjata. Barangkali, Arie pada saat itu tidak pernah mengira bahwa takdir yang ia sempat tolak tersebut akan menjadi titik balik dalam biduk hidupnya.

Buku Arie Smit: Hikayat Luar Biasa Tentara Penembak Cahaya garapan Agus Dermawan T. ini mengisahkan biografi hidup Arie Smit, seorang maestro lukis kelahiran Belanda bernama lengkap Adrianus Wilhelmus Smit. Selama 78 tahun, ia memilih Indonesia sebagai rumah dan Bali sebagai tambatan hatinya, yang tecermin dalam keseluruhan karyanya. Seperti dikatakan Agus Dermawan T., sebagian orang menyebut Arie Smit sebagai pelukis Belanda yang tinggal di Bali. Tapi Arie Smit selalu menyangkal sebutan itu. Ia minta dicatat sebagai pelukis Bali yang tinggal di Indonesia, atau malah seniman Indonesia yang lahir di Belanda (hlm 1).

Arie Smit, kelahiran Zaandam, Belanda, 1916, pernah menjadi mahasiswa desain grafis di akademi seni di Rotterdam. Ia datang ke Indonesia pada 1938 untuk mengikuti program wajib militer. Bertugas sebagai tentara sama sekali bukan keinginannya. Ia membenci kekerasan. Karena itu, Arie merasa berbahagia saat ditugaskan sebagai lithographer untuk tentara Belanda di Topografische Dienst alias Jawatan Topografi di Batavia.

Arie pernah ditangkap oleh pemerintah Jepang pada 1942 dan mesti menjalani kerja paksa di Singapura, Thailand, dan Myanmar. Jembatan Sungai Kwai merekam episode masa sulit Arie saat menjadi pekerja romusa. Ia baru dibebaskan pada 1945, ketika Jepang kalah perang. Pasca-pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 1949, Arie memilih tinggal dengan mencopot seragam tentaranya, dan pada 1951 mengubah kewarganegaraannya. Selepas itu, ia mengajar seni grafis dan litografi di seni rupa Institut Teknologi Bandung.

Perjalanan Arie ke Bali dengan Sonnega pada 1956, yang diikuti perjumpaannya dengan agen lukisan Jimmy Pady, menjadi awal mula keputusan Arie menetap di Bali. Panorama Bali menjerat hati Arie. Lalu, ia mendirikan Young Artist, perkumpulan pelukis di Dusun Penestanan, Ubud. Berkehendak mengikuti jejak pelukis Walter Spies, di sana Arie mengajarkan seni lukis ke anak-anak penggembala itik. Mereka dididik Arie untuk melukis secara spontan, tanpa perlu mengingat patron-patron seni tradisional Bali (hlm 74).

Selain Auke Sonnega, Jim Pandi, dan Walter Spies, di dalam buku ini Agus Dermawan T. menampilkan orang-orang istimewa di sekitar Arie. Sebut saja Miguel Covarrubias, Theophile Suijkerbuijk, Rudolf Bonnet, Jusuf Wanandi, Sutan Takdir Alisjahbana, Han Sneil, dan Suteja Neka. Bagi Arie, Neka adalah orang yang sangat berjasa pada hari tuanya semenjak ia tinggal di Villa Sanggingan, Ubud. Neka pun diberi hak oleh Arie untuk memasarkan dan memamerkan karya-karyanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dapat dikatakan Arie Smit turut membiakkan sekaligus membentuk dunia seni lukis di Bali. Meski demikian, dalam khzanah seni lukis Indonesia, sosok Arie Smit tidak begitu dikenal. Menurut Agus Dermawan T., nama Arie Smit hilang dan terhapus dalam berbagai buku sejarah seni rupa yang ditulis sampai 1990. Misalnya, buku Seni Lukis Indonesia Baru karya Saneto Yuliman dkk (Dewan Kesenian Jakarta, 1978) sama sekali tak menyinggung Arie Smit. Begitu juga buku Seni Lukis Jakarta dalam Sorotan (1974) susunan Sudarmaji. Ini ironis lantaran buku itu berulang kali menyebut Jank Frank, Romualdo Locateli, C.L. Dake Jr., W.G. Hofker, sampai Rudolf Bonnet. Nama Arie Smit baru muncul dalam buku garapan G.M. Sudarta, Seni Lukis Bali dalam Tiga Generasi (Gramedia, 1975).

Pada Juni 1990. Arie berpameran tunggal di gedung CSIS, Jakarta. Eksistensi Arie yang sempat dianggap “hilang” dimunculkan kembali ke khalayak. Kritikus Bambang Bujono menulis ihwal karya-karya Arie dalam pameran itu di majalah Tempo edisi 2 Juni 1990: “Arie Smit tampaknya memang akrab dengan alam. Bukan cuma akrab: terkesan dari banyak karyanya ia seolah bukan melihat alam tapi berada dalam alam.” Adapum Rikard Bagun di Kompas 22 Mei 1990 menyebut karya-karya Arie Smit sebagai “realisme puitik” (hlm 8).

Dalam buku ini, mata pembaca akan dimanjakan oleh album lukisan Arie Smit. Ia adalah seorang maestro pemburu cahaya. Panorama Bali yang berlimpah “cahaya” menjadi esensi lukisannya yang termanifestasi dalam setiap sapuan kuas di atas kanvas yang bergelimang warna. Dalam melukis, Arie selalu menghadirkan lapisan-lapisan warna. Di dalam biru ada biru lain, ada biru yang lain, dan ada biru-biru yang lain lagi.

Arie mengaku, “Ketika datang ke Bali, awalnya saya memposisikan diri sebagai pemburu estetik, namun yang saya temukan justru cahaya.” Agus Dermawan T. mengungkapkan, karya-karya Arie merupakan wujud ucapan terima kasihnya kepada matahari. Apabila kita melihat lukisan Arie yang menggambarkan pemandangan kota, persawahan, pohon beringin, gunung, kebun bunga, atau orang-orang di pura, sesungguhnya yang hendak dihadirkan adalah warna sebagai representas cahaya (hlm 98).

Selain menampilkan lukisan, buku ini memuat karya tulis Arie berupa esai dan kritik seni yang pernah dimuat di koran berbahasa Belanda, Niewsgier dan Het Dagblad, serta majalah Basis. Ia antara lain berbicara tentang lukisan-lukisan yang menghiasi becak-becak di kota-kota pesisir Jawa. Buku ini terbit setelah Arie Smit meninggal pada Maret lalu. Menulis dengan penuh simpati, Agus Dermawan T. telah memperlihatkan Arie Smit sebagai salah seorang pelukis terpenting di Indonesia. Lebih dari itu, sosok Arie sebagai cerminan lukisannya menyiratkan pesan bahwa (menjadi) Indonesia bagaikan menjadi berkas cahaya yang melampaui sekat-sekat identitas yang subtil. *

Muhammad Khambali, pengajar di YPD Rawinala, Jakarta.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


500 Seniman Ramaikan Nuit Blanche di Taiwan

6 Oktober 2018

Direktur Seni Nuit Blanche, Sean C.S Hu menyampaikan program Nuit Blanche ketiga di kota Taipei, Taiwan, 4 Oktober 2018.  Martha Warta Silaban/TEMPO
500 Seniman Ramaikan Nuit Blanche di Taiwan

Berbagai pertunjukan seni seperti musik juga akan ditampilkan di Nuit Blanche Taiwan, termasuk dari para tenaga kerja Indonesia.


Komikus Si Juki: Apa pun Bisa Jadi Meme

4 November 2017

Meme Setye Novanto. twitter.com
Komikus Si Juki: Apa pun Bisa Jadi Meme

Apapun saat ini bisa dijadikan meme. Perbincangan meme kembali hangat setelah penangkapan seorang pembuat meme tentang Ketua DPR Setya Novanto


Karya Teguh Ostenrik Akan Hiasi Kalijodo

9 Agustus 2017

Seniman Teguh Ostenrik tengah mempersiapkan karyanya yang akan dipajang di Kalijodo. Foto: Gino Hadi Franky
Karya Teguh Ostenrik Akan Hiasi Kalijodo

Karya instalasi ini masih dalam proses pembuatan. Karya ini
rencananya dipasang akhir September mendatang.


Di Indonesia Seni Video Belum Diserap Pasar Kelas High End

31 Juli 2017

Ilustrasi wanita membuat video. shutterstock.com
Di Indonesia Seni Video Belum Diserap Pasar Kelas High End

Seni video yang dinilai memiliki perkembangan cukup bagus di Indonesia diharapkan segera mempunyai pasar.


Kisah Putu Sunarta, Seniman Ukir Pembuat Gitar Divart dari Bali

18 Juli 2017

I Putu Sunarta dan dua gitar Divart karyanya jenis akustik dan elektrik. Lokasi di rumahnya, Banjar Dukuh, Desa Penebel, Tabanan, Bali, Selasa, 11 Juli 2017/BRAM SETIAWAN
Kisah Putu Sunarta, Seniman Ukir Pembuat Gitar Divart dari Bali

Lama menekuni seni ukir, I Putu Sunarta kini dikenal sebagai
pembuat gitar bermerek Divart di Bali.


Otentisitas Sketsa Van Gogh yang Baru Ditemukan, Diragukan

16 November 2016

Direktur Museum Van Gogh, Axel Rueger (kiri), berpose di samping lukisan
Otentisitas Sketsa Van Gogh yang Baru Ditemukan, Diragukan

Buku Sketsa The Lost Arles yang baru dirilis internasional disebut memuat 56 sketsa karya maestro lukis Vincent Van Gogh.


Gatot Indrajati Sabet UOB Painting of the Year 2016

25 Oktober 2016

Seniman asal Jogja, Gatot Indrajati. idchinaart.org
Gatot Indrajati Sabet UOB Painting of the Year 2016

Seniman asal Yogyakarta Gatot Indrajati mendapat penghargaan UOB Painting of the Year 2016.


Berusia 39 Tahun, Teater Koma Berharap Tetap Koma

25 Februari 2016

Ratna Riantiarno memotong tumpeng usai menggelar persiapan pementasan lakon
Berusia 39 Tahun, Teater Koma Berharap Tetap Koma

Punya pemain dan penonton setia. Tetap harus berjuang menjadi
teater yang disukai masyarakat.


Jakarta 'Cekik' Tugu Pancoran, Edhi Sunarso Meratap Kecewa  

5 Januari 2016

TEMPO/Tony Hartawan
Jakarta 'Cekik' Tugu Pancoran, Edhi Sunarso Meratap Kecewa  

Nahas menerpa Monumen Dirgantara di Pancoran. Monumen itu dibangun Edhi Sunarso pada 1970, pada saat kekuasaan Soekarno sudah lemah.


Jakarta Berubah, Monumen Penting Karya Edhi Sunarso Kesepian

5 Januari 2016

Patung Pembebasan Irian Barat karya Edhi Sunarso di Lapangan Banteng, Jakarta. Dok. TEMPO/Bernard Chaniago
Jakarta Berubah, Monumen Penting Karya Edhi Sunarso Kesepian

Edhi membangun tiga monumen penting di Jakarta: Selamat Datang,
Dirgantara di perempatan Pancoran, dan Pembebasan Irian Barat di
Lapangan Banteng.