Musik pun mengalir utuh ketika berpadu dengan permainan gitar dan pukulan drum. Gitar yang dimainkan Abiyoga menjadi melodi yang merajut pertautan bas, drum, flute, dan piano dengan instrumen tradisional, seperti gamelan, rindik, kendang, serta suling. ”Kami berusaha agar perpaduan itu bukan yang sekadar sebuah penempelan,” kata Kadek Suardana, komponis lagu bertajuk Tajen itu, yang dimainkan oleh Abiyoga Group di Gedung Ksirarnawa, Art Center, Denpasar, Bali, Sabtu pekan lalu.
Komposisi itu berusaha menampilkan suasana tajen alias adu ayam jago, yang biasanya digelar masyarakat Bali menjelang upacara ritual di pura. Meski kerap dikeluhkan sebagai bentuk perjudian yang memanfaatkan momentum keagamaan, bagi warga Bali, tajen identik dengan persaudaraan dan keakraban serta kehangatan hubungan pribadi.
Abiyoga Group juga menyuguhkan lima komposisi lainnya. Yang lebih kental corak etniknya adalah komposisi berjudul Gineman dan Angkat Angkatan. ”Inspirasinya memang dari gamelan di pewayangan,” ujar Kadek.
Gineman adalah musik yang mengantarkan suasana kontemplatif dengan tempo pelan. Lambat laun musik makin dinamis seiring dengan kayonan (tokoh) wayang yang mulai menari. Pada lagu ini, tempo kembali dipadu oleh suara gitar. Adapun Angkat Angkatan sebenarnya komposisi yang menandai peralihan cerita pada wayang. Kadek membuatnya jauh lebih rancak.
Kadek bukanlah orang baru di dunia seni musik tradisional. Pria kelahiran Denpasar pada 1956 itu menyelesaikan pendidikan di Konservatori Musik Tradisional dan melanjutkan di Akademi Seni Tari Indonesia. Pengalaman musiknya, antara lain, menjadi komposer dan menulis dramaturgi untuk Australian Based The One Extra Company’s Production Dancing Demons (1990) berdasarkan cerita Ramayana. Menjadi komposer Gothenburg Opera Ballet (Swedia) untuk pementasan karya Bima (1996).
Pada 1998, Kadek ikut menggarap soundtrack untuk drama televisi Api Cinta Antonio Blanco produksi Jatayu Cakrawala Film, yang berhasil meraih Piala Vidia di Festival Sinetron Indonesia 1998. Pada tahun yang sama, ia mendirikan Yayasan Arti Denpasar bersama Gde Aryantha Soethama, Dewa Gede Palguna, dan Ulf Gadd. Di bawah pimpinannya, Yayasan Arti Denpasar telah memproduksi berbagai pementasan tari yang didasarkan pada seni tradisional, seperti Gambuh Macbeth (1998), Ritus Legong (2002), Tajen I ( 2002), dan Tajen II (2006).
Pengamat musik Wayan Dibia menilai komposisi yang dimainkan memang sudah cukup utuh dan enak dinikmati, namun belum menunjukkan inovasi yang baru dalam upaya menampilkan musik semacam itu. “Sudah sering kita dengar sehingga sulit dibedakan dengan kelompok yang lain,” ujar guru besar Institut Seni Indonesia Denpasar itu. Cirinya, ia menambahkan, yang sudah berkembang sejak 1970-an, adalah pemanfaatan selonding, kendang, dan seruling dari sisi musik tradisional.
Wayan Dibia berharap lebih banyak eksplorasi pada sisi teknik petikan ataupun pukulan dari tiap-tiap alat sehingga bisa dihasilkan bunyi yang berbeda. Pada drum, misalnya, sangat dimungkinkan untuk dibunyikan layaknya gendang. “Tantangannya kemudian adalah menampilkan komposisi dengan bunyi-bunyi alternatif itu.”
ROFIQI HASAN