TEMPO Interaktif, Pir itu bukan lagi buah. Rangkaian garis dari pucuknya yang berbatang kecil melingkari seluruh lekukan pir. Garis-garis lengkung yang menodai kesegaran pir itu dengan sedikit kegelapannya sekaligus menghasilkan bentuk rahim.
Sketsa pir lainnya lebih tak beraturan. Bidangnya lebih kosong. Garis lengkungnya membentuk raga perempuan dengan dua payudara. Tubuh menyusui yang menggambarkan peran sempurna perempuan: ibu.
Wujud baru buah pir itu adalah hasil goresan tangan Mudji Sutrisno S.J.--Romo Mudji, sapaannya--mengekspresikan syukur atas peziarahannya selama menjadi manusia sekaligus imam Yesuit. Bagi dia, tak ada ungkapan syukur lebih tepat selain mengembalikan tempat dia berasal, rahim perempuan. "Semua orang bermula dari rahim," katanya.
Selama tujuh bulan, sejak awal Juni hingga Desember 2009, Romo Mudji menjalani sabatical atau cuti panjang di Italia. Ia kembali ke tempat belajarnya dan meraih doktor filsafat pada 1986. Selama perjalanannya di Italia, ia membuat berbagai sketsa. Sebagian besar terangkum dalam buku Garis-garis Sketsa Mudji Sutrisno S.J. Sebagian lagi masuk buku lain, Ranah-ranah Estetika.
Jadilah kita melihat pergulatan Romo Mudji selama tujuh bulan. Melalui makanan yang disantap (ekspresi kerinduannya pada nasi), laptop Zyrex yang digunakan, dan tempat-tempat yang dikunjunginya. Maka banyak sketsa bangunan, terutama gereja dan ornamennya, yang ditorehkan Romo Mudji melalui roller pen 04 dan Boxy. Kadang ia melukis dari dalam, dari kejauhan, dan dari atas bukit.
Kita diajak melihat keindahan sejumlah tempat di Italia, dari sudut Kota Florence, keagungan Vatikan, berbagai basilika, dan keindahan Sungai Tiber. Kota Vatikan, misalnya, dilukis dua kali saat malam dan pagi. Penempatan bangunan, termasuk kubah Basilika Santo Petrus, berada di tengah, memberi kesan kemegahan Kota Vatikan.
Romo Mudji juga menggambarkan keindahan purnama di Italia yang menyinari bangunan-bangunannya. Dalam Purnama di Atas Gereja Ignatius Roma, ia menggambarkan bulatan besar dengan garis hitam tebal. Bangunan gereja digambarnya dengan gaya urakan dan tak terlalu jelas. Bagian depan bangunan yang tak terkena sinar dibuatnya lebih gelap dengan meleletkan air, yang lalu berubah menjadi sedikit suram. Dalam sketsa itu, terlihat suasana hati Romo Mudji saat tanah airnya berduka atas gempa Padang.
Sebelum menggambar, guru besar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, itu selalu mengheningkan batin. Bukan sekadar diam, tapi juga merasakan udara dan suasana sekitarnya. Barulah sketsa dibuat, bisa 15 menit hingga 1 jam. Dalam setiap gambarnya, Romo Mudji senantiasa mengucap doa. Dengan proses itu, terasa suasana religius dari setiap sketsanya.
Menurut dia, bukan karena bangunan yang digambarnya adalah tempat beribadah, melainkan kelengkapan indra yang digunakannya dalam menggambar mampu menghasilkan refleksi nan mendalam. Sejumlah puisinya dan refleksi atas makna sketsa yang disisipkannya juga menambah religiositas sketsa.
Goresan Romo Mudji juga terasa kian tajam. Jika dibandingkan dengan sketsanya dalam Dimensi Estetika Mudji Sutrisno, yang dipamerkan pada awal 2007, terlihat garis yang tak diragukan. Ia tak peduli garis yang satu menghantam garis lain. Elemen garis sangat kuat dan dominan dalam karya-karyanya. Ia seperti kembali belajar menarik garis. "Saya menarik garis dalam diam," katanya.
Dalam hening pulalah Romo Mudji melihat kembali kondisi gereja Katolik di bawah pimpinan tertinggi Paus Benediktus XVI. Romo Mudji menilai Benediktus XVI belum mampu melanjutkan kegembalaan pendahulunya, Yohanes Paulus II.
Kekhawatirannya bahwa agama akan beku dalam birokrasi gereja pun dituangkan dalam sejumlah sketsa. Misalnya ia menggambar sosok Roh Kudus dalam rupa merpati bercahaya yang terbang di sekitar pilar basilika. Di atasnya terdapat cupola atau kubah basilika dengan garis-garisnya, seperti membatasi merpati tersebut. Sketsa menarik dengan wide angle yang menambah kesan kemegahan gereja. Pada gambar lain yang hampir serupa, ia menambahkan pertanyaan, "Domino Quando veneris?" yang artinya "Kapan Engkau hadir memperindah dunia ini?"
Kerinduan Romo Mudji atas gereja yang mempersatukan umat dihadirkannya melalui perjamuan terakhir. Tiga belas sosok di bawah bulan purnama mengelilingi meja bundar yang berpendar. Di tengah meja terdapat gambar ikan. "Ikan menjadi simbol penderitaan gereja," katanya.
Satu kekurangan dalam sketsa Romo Mudji, terkadang unsur perspektif ruang seperti diabaikan. Dalam Catacomba St Callistus di bagian depan buku, misalnya, komposisi ruang seperti tak beraturan dan membingungkan. Dalam sketsa yang lain, obyek gambar yang seharusnya membesar malah mengecil.
Entah elemen perspektif itu sengaja dilupakan atau tidak. Yang jelas, bagi Romo Mudji, sketsanya kali ini merupakan proses belajar kembali. Proses yang ditempuhnya dalam keheningan. Hening yang reflektif. Dan itu sudah sangat cukup untuk menghasilkan karya berupa sketsa reflektif.
PRAMONO